RSS

Sejarah Tafsir

Pada saat Al Qur’an di turunkan, Rosul SAW. yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rosul. Walaupun harus di akui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rosul sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al Qur’an.

Kalau pada masa Rosul para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan seperti Aly bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu Mas’ud.

Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al Qur’an kepada tokoh-tokoh ahlul kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al Akhbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyyat.

Disamping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid para tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi’in di kota-kota tersebut, seperti: (a) Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu Abbas. (b) Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka’ab. Dan (c) Al Hasan Al Bashri, Amir Al Sya’bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.

Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rosulullah, penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi’in, di kelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-Ma’tsur. Dan masa ini dapat di jadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.

Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi’in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir.

Pada mulanya usaha pentafsiran ayat-ayat Al Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang di kandung satu kosa kata. Namun sejalan dengan perkembangan zaman yang tak bisa di bendung lagi, Al Qur’an terus memberikan peluang berbagai macam pentafsiran, seperti yang di katakan oleh ‘Abdulloh Darras dalam An-Naba’ Al-Azhim: “Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.” Sehingga muncullah berbagai corak penafsiran antara lain: (a) corak sastra bahasa; (b) corak filsafat dan teologi; (c) corak penafsiran ilmiah; (d) corak fiqih atau hukum; (e) corak tasawuf; (f) corak sastra budaya kemasyarakatan.

Dari segi perkembangan kodifikasi (penulisan) penafsiran dapat di golongkan menjadi tiga periode: Periode I, yaitu pada masa Rosulullah SAW, sahabat, dan permulaan masa tabi’in, di mana tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan ketika itu tersebar secara lisan. Periode II, bermula dengan kodifikasi hadist secara resmi pada masa pemerintahan ‘Umar ibn Abdul ‘Aziz (99-101 H). Tafsir ketika itu ditulis bergabung dengan penulisa hadist-hadist, dan dihimpun dalam satu bab seperti bab-bab hadist, walaupun tentunya penafsiran yang ditulis itu umumnya adalah Tafsir bi Al Ma’tsur. Dan periode III, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus dan berdiri sendiri, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al Farra’ (w.207 H). dengan kitabnya yang berjudul Ma’ani Al qur’an.

Di lain segi, sejarah perkembangan tafsir dapat pula ditinjau dari sudut metode penafsiran. Walaupun disadari bahwa setiap mufassir mempunyai metode yang berbeda-beda dalam perincianya dengan mufassir lain. Namun secara umum dapat diamati sejak periode ketiga dari penulisan kitab-kitab tafsir sampai tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat Alqur’an secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunan dalam mushaf. Penafsiran yang yang berdasarkan perurutan mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk Alqur’an terpisah-pisah , serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Memang satu masalah dalam Al qur’an sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat. Ambilah dalam masalah riba, yang dikemukakan dalam surat Al Baqarah, Ali Imron, dan Ar Rum, sehinga untuk mengetahui pandangan Al Qur’an secara menyeluruh dibutuhkan pembahasan yang menyeluruh dan mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat yang berbeda-beda. Disadari pula oleh para Ulama’ khususnya AL-Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap surat walaupun permasalahanya berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah tersebut. Dan pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir Al qur’an Al karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syahibi tersebut Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Metode ini diberi nama (maudu’i).

Namun apa yang di tempuh oleh Syalthut belum menjadikan pembahasan mengenai petunjuk Al Qur’an yang dipaparkan secara menyeluruh, karena seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa satu masalah bisa ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al Kumiy pada akhir tahun 60 an. Ide ini pada hakekatnya merupakan kelanjutan dari metode Mawdhu’iy mempunyai dua pengertian: pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menhubungkan persoalan-persoalan yang beranekan ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalah-masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al Qur’an dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.

Demikian perkembangan penafsiran Al-Qur’an darfi segi metode, yang dalam hal ini ditekankan menyangkut pandangan terhadap pemilihan ayat-ayat yang ditafsirkan (yaitu menurut urut-urutannya).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS