RSS

Metode-Metode Qur`ani untuk Mendakwahkan Islam


Sepanjang kurun sejarah, Allah telah mengutus para rasul silih berganti untuk menyampaikan fakta tentang eksis­tensi-Nya dan adanya hari akhir secara jelas, dan menyu­ruh mereka menyembah hanya Dia. Allah memberitahukan kita bah­wa para utusan-Nya, beserta orang-orang beriman, sudah di­­percayakan dengan tugas ini,

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar….” (Ali Imran [3]: 104)

Orang-orang beriman hanya disuruh mempermaklumkan Islam. Maknanya, mereka hendaknya menyampaikan perintah Allah kepada manusia dan menyeru mereka menuju kepada moralitas Al-Qur`an. Allah membimbing dan memberikan pengertian ke­pa­da manusia. Dalam hubungan ini, orang-orang beriman diberi kewajiban hanya untuk penggunaan metode-metode yang di­sebutkan di dalam Al-Qur`an; mereka tidak berkewajiban untuk mempercayainya atau tidak.

Untuk mempermudah tugas mereka, Allah memberi petunjuk kepada orang-orang beriman melalui perintah-perintah yang mudah dimengerti dan terdapat di dalam Al-Qur`an. Tingkah perbuatan para utusan Allah juga jadi contoh untuk umat beriman. Di dalam bab ini, kita akan mengulas metode-metode mendakwahkan pesan itu dan cara mengatasi situasi-situasi yang berubah-ubah dalam melaksanakan tugas mulia ini.

Tidak Ada Upah dalam Urusan Ini

Bagi para pendakwah hen­daknya mampu menganalisis dengan pikiran bebas dan masuk akal, dan tanpa dipengaruhi oleh buruk sangka dalam bentuk apa pun, ragu, atau rasa tertekan. Untuk tahap ini, mereka harus yakin pada keikhlas­an orang yang menyampaikan amanah itu.

Mereka yang tidak akrab dengan pendakwah dan hanya ta­hu sedikit tentang mereka mungkin bisa keliru menentangnya dan meragukan maksud mereka, karena mereka berada di ba­­wah pengaruh lingkungan masyarakat yang acuh tak acuh. Pa­da tahap tertentu, keadaan ini mungkin dapat diterima. Misalnya, barangkali mereka ingin tahu tentang mengapa oang orang beriman bekerja terlalu keras untuk memperkenalkan Is­lam kepada mereka. Karena segala sesuatu di dalam dunia me­re­ka didasarkan pada kepentingan pribadi, mungkin saja be­lum terjangkau di otak mereka, mengapa orang-orang yang berkeyakinan tentang adanya Tuhan hanya mencari ridha Allah. Atau, mungkin saja mereka bertanya-tanya, apakah in­for­masi yang disampaikan para dai memang akurat. Untuk alas­an-alasan yang disebutkan ini, para dai hendaklah ber­upa­ya sebaik mungkin untuk mendahului dengan menampik semua ke­ra­guan dan keprihatinan tanpa menanti pihak lain me­nga­ta­kan keberatan tersebut.

Sesungguhnya, Al-Qur`an meyampaikan kepada kita bahwa se­mua rasul Allah memberikan prioritas utama pada pelaksana­an misi suci ini. Mereka mempunyai keyakinan khusus pada Ke­mahakuasaan Allah dan hari akhir. Karena itu, mereka meng­ab­­dikan seluruh hidupnya untuk mendapatkan restu-Nya. De­ngan keyakinan adanya surga dan neraka, para utusan meng­kha­­wa­tirkan tiap manusia yang mereka temui akan kepastian men­­dapat siksaan pedih di neraka, kecuali mereka mematuhi se­mua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Misi utama me­reka adalah untuk mengajak orang lain bergabung dalam ke­ba­ik­an (makruf) dan menjauhi keburukan (mungkar), serta me­nyam­paikan kepada semua manusia tentang kebesaran dan ke­per­kasaan Allah. Imbalannya, mereka berupaya keras hanyalah de­mi mendapatkan ridha Allah. Selain dari itu, mereka tidak meng­harapkan keuntungan duniawi.

Al-Qur`an menekankan perhatian kita pada poin ini dan me­nandaskan bahwa para Utusan Allah selalu berusaha keras un­­tuk melenyapkan keragu-raguan manusia. Berikut ini sejumlah ayat yang ber­­kait dengan hal ini.

“Aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam.” (asy-Syu’araa` [26]: 180)

“Mereka itulah orang-orang yang telah diberikan petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Ka­ta­kan­lah, ‘Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyam­pai­kan (Al-Qur`an) itu tidak lain hanyalah peringatan un­tuk segala umat.’” (al-An’aam [6]: 90)

“Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seru­anku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang te­lah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan­nya?” (Huud [11]: 51)

“Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki (Habib an-Najjar) dengan bergegas-gegas ia berkata, ‘Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah orang yang tiada meminta balasan kepadamu, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.’” (Yaasiin [36]: 20-21)

Maka, dalam kepatuhan pada isyarat-isyarat yang disebut dalam ayat-ayat ini, dan yang lain, mereka yang telah men­j­alankan misi mulia itu harus memperjelas hal ini. Kon­di­si dunia saat ini telah memaksa manusia berburuk sangka ter­hadap siapa pun, karena secara primer hubungan an­tar­ma­nu­sia dilandaskan pada kepentingan material. Untuk alasan itu, klarifikasi-klarifikasi demikian akan memperjelas ma­sa­lahnya kepada pihak lain.

Pastikan, Orang yang Menyampaikan Pesan Dapat Diandalkan

Tentang bagaimana pesan harus disampaikan, Al-Qur`an menyampaikan pesan yang lain: mereka yang mendakwahkan Islam pertama-tama harus jelas betul kalau mereka orang jujur dan dapat diandalkan. Sesungguhnya, kita maklumi dari Al-Qur`an bahwa semua rasul menggunakan metode ini serta me­nan­das­kan bahwa mereka tidak lain adalah para utusan yang di­tugaskan oleh Allah,

“Sesungguhnya, aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu.” (asy-Syu’araa` [26]: 107)

Ini penting untuk menghilangkan keragu-raguan mereka sebagai objek dari penyampaian pesan Allah. Kalau orang itu ju­­jur, ikhlas, dan bisa diandalkan, kata-kata mereka patut di­in­dahkan dan dilaksanakan. Tapi, sekecil apa pun keraguan me­ngenai keandalan penyampai pesan, itu bakal menyebabkan pi­hak lain membangun mekanisme bela diri. Apabila metode be­la diri ini dapat dipatahkan oleh metode-metode yang dipaparkan Al-Qur`an, manusia akan semakin terbuka untuk menerima dakwah Islam.

Membuktikan Keyakinan Palsu

Sesudah menghilangkan keprihatinan dan buruk sangka da­­­ri pihak-pihak sasaran dakwah Islam, langkah selanjutnya ada­lah membuktikan ketidakrasionalan dan kepalsuan keyakinan mereka. Menjelaskan jenis kepalsuan keyakinan mereka harus disampaikan secara meyakinkan dan logis, sebab mereka akan rela meninggalkan keyakinan lamanya setelah mereka be­tul­-betul dapat diyakinkan kesalahannya. Untuk melenyapkan ke­risauan yang menyuramkan pikiran seseorang, Allah meng­ha­dir­kan satu metode. Nafikan kepercayaan palsu lewat metode-me­tode rasional, ilmiah, dan transparan, dengan penjelasan yang berterima dan memuaskan, mencakup ketidakefektifan sis­tem yang dipakai kaum tidak beriman. Metode yang di­gu­na­kan Nabi Ibrahim a.s. untuk menyampaikan pesan kepada ka­um­nya dapat dijadikan contoh,

“Ketika ia (Ibrahim) berkata kepada bapaknya dan kaumnya, ‘Apakah yang kamu sembah?’ Mereka menjawab, ‘Kami me­nye­m­bah berhala-berhala dan kami sentiasa tekun me­nyem­­bahnya.’ Berkata Ibrahim, ‘Apakah berhala-berhala itu mendengar (do’a)-mu sewaktu kamu berdo’a kepadanya? atau dapatkah mereka memberi manfaat kepadamu atau mem­beri mudharat?’ Mereka menjawab, ‘(Bukan karena it­u­) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami ber­bu­at demikian.’ Ibrahim berkata, ‘Maka apakah kamu mem­­perhatikan apa yang selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?’” (asy-Syu’araa` [26]: 70-76)

Nabi Ibrahim a.s. mengajukan pertanyaan-pertanyaan ter­se­but kepada kaumnya dengan tujuan mengetahui alasan-alasan dan inteligensi mereka, dan secara bertahap membuat mereka me­nyadari tidak validnya keyakinan mereka. Sementara itu, de­­ngan tiap pertanyaan dia harapkan kesadaran kaumnya dan me­mastikan mereka akan mengakui ketidaklogisan kepercayaan me­­reka. Dia gunakan metode ini karena kaumnya, yang telah ja­di penyembah berhala batu yang diwariskan nenek moyang mereka, dan tidak pernah merenungkan hal tersebut. Akan tetapi, se­telah Ibrahim memaparkan fakta-fakta, mereka jadi ter­ce­nung. Betapa tidak wajar dan lemahnya benda yang mereka sem­bah turun-temurun.

Ibrahim lalu memperkenalkan Allah lewat tanda-tanda cip­ta­an-Nya nan mahaagung. Sehingga, dengan demikian tampak per­bedaan tak terhitung antara berhala batu yang sama sekali tidak punya kekuatan, dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah, Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana,

“Sesungguhnya, apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam, yaitu Tuhan Yang telah men­ciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku, dan Tuhanku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan meng­hi­dup­kan aku kembali, dan Yang amat kuinginkan akan meng­am­puni kesalahanku pada hari kiamat.” (asy-Syu’araa` [26]: 77-82)

Metode ini telah memberikan kemampuan kepada kaumnya, penyembah berhala, untuk menyadari situasi tidak rasional yang mereka berada di dalamnya. Tapi, kesadaran itu hanya untuk penggalan waktu tertentu.

Menggunakan Metode Tanya Jawab

Dengan metode serupa, manusia dapat didorong untuk ber­­tanya lebih jauh tentang hal-hal yang belum mereka yakini. Hal itu akan membuat mereka paham betapa indahnya pe­ma­­ham­­an mereka pada informasi yang sudah sampai kepada me­re­ka, bahwa mereka sudah mampu mengerti makna informasi yang telah disampaikan kepada mereka; sehingga memberi peluang lebih lanjut kepada para dai menyampaikan penjelasan tambahan. Menawarkan informasi lanjutan sebelum meng­kla­ri­fi­kasi apa yang sudah disampaikan dapat membingungkan pihak yang di­tuju.

Sebagai tambahan, membuktikan kesalahan pikiran yang su­dah terdistorsi melalui penyampaian alasan masuk akal dan indah sudah menjadi satu metode Al-Qur`an. Ayat lain meringan­kan kita berkenaan metode ini,

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ib­rahim mengatakan, ‘Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,’ Orang itu berkata, ‘Saya dapat menghidup­kan dan mematikan.’ Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya, Allah menerbitkan matahari dari timur, maka ter­bit­kan­lah dia dari barat,’ lalu heran terdiamlah orang kafir itu, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah [2]: 258)

Dengan ucapan singkat-padat dan dalam jangkauannya, Nabi Ibrahim a.s. menunjukkan kelemahan orang kafir di hada­pan keperkasaan Allah yang tak terhingga lewat paparan con­toh­-contoh sangat mengesankan, membuat orang itu kenal si­tu­asinya. Saran Nabi Ibrahim a.s. itu mengejutkan dan men­ja­di­kan orang kafir itu diam seribu bahasa. Pola bijak les­ta­ri ini merupakan contoh bagus untuk orang beriman dalam mendakwahkan Islam kepada pihak lain.

Menyeru Secara Terbuka dan Secara Rahasia

Allah memberi tahu kita bahwa semua utusan-Nya memanfa­atkan beragam metode dan penjelasan untuk memperkenalkan Ke­agungan Allah kepada manusia dan kebutuhan mereka pada aga­ma. Contoh yang ditunjukkan oleh Nabi Nuh a.s. ini dapat dijadikan pedoman oleh semua orang beriman.

“Nuh berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan ba­junya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. Kemudian sesungguh­nya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, kemudian sesungguhnya aku menyeru mereka lagi dengan terang-terangan dan dengan diam-diam, maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun kebun dan mengadakan pula di dalamnya untukmu sungai-sungai.’’” (Nuh [71]: 5-12)

Do’a ini mengungkapkan bahwa, bila perlu, orang-orang beriman diperkenankan menyampaikan penjelasan baik secara langsung maupun terselubung. Dengan mengingatkan kaumnya tentang hal-hal lumrah yang meninggalkan kesan mendalam pada diri mereka, Nabi Nuh a.s. menguraikan bahwa Allah menganugerahkan rahmat-Nya kepada mereka, agar mereka memikir­kannya. Dia ceritakan pada mereka bahwa Allah menurunkan hujan untuk mengairi tanaman mereka, memberikan harta dan anak-anak kepada mereka, menciptakan sungai-sungai dan kebun-kebun dengan limpahan hasil, dan bahwa hanya Dia pe­mi­lik segala rahmat yang mereka nikmati. Dalam upaya me­na­rik mereka lebih dekat pada konsep agama, dia berusaha keras untuk menjelaskan kepada kaumnya, yang belum mampu menyerap keindahan Islam dan keperluan diri mereka pada agama, bahwa ketamakan mereka akan kepentingan-kepentingan duniawi, semuanya juga berada dalam kendali Allah. Genggaman mereka pada hal-hal mendasar ini akan menjadi fondasi yang tepat untuk pemahaman lebih baik tentang adanya akhirat dan syariat Islam.

Menjelaskan Tanda-Tanda Penciptaan

Salah satu metode yang Allah perintahkan kepada orang beriman untuk mengaplikasikannya dalam mendakwahkan Islam kepada kaum mereka adalah dengan memperkenalkan tanda-tanda bukti penciptaan. Banyak Nabi, yang disebut dalam Al-Qur`an, membimbing umat mereka agar memikirkan tanda-tanda tersebut. Nabi Nuh a.s. termasuk seorang dari para rasul itu,

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita? Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian Dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (darinya pada hari kiamat) dengan sebenar-benarnya. Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, supaya kamu menjalani jalan-jalan yang luas di bumi itu.” (Nuh [71]: 15-20)

Tanda–tanda penciptaan ini sangat besar maknanya dan mengandung uraian informasi yang bisa mengisi bilangan jilid buku. Coba pikirkan tentang tujuh lapis langit yang merupakan angkasa dan manfaat semua itu pada makhluk-makhluk penghuni bumi dan sitim ekologi, pengaruh sinar mentari dan cahaya bulan terhadap musim, cuaca, pergantian malam dengan siang, dan kehidupan manusia, akan memperlebar jarak pandang dan pada akhirnya orang tambah arif dan makin yakin pada keagungan Al-Qur`an. Dengan memikirkan secara mendalam terhadap bencana-bencana alam, bahwa sekecil apa pun terjadi perubahan pada sistem tata surya akan membawa akibat. Jagat raya kaya dengan rincian-rincian detail, yang diabaikan oleh sebagian terbesar umat manusia. Untuk alasan inilah, menggugah perhatian mereka untuk memikirkan hal-hal yang disebutkan itu dapat dijadikan perangkat dalam membimbing mereka untuk mencermati Mahakuasa dan Mahaperkasanya Allah. Nabi saw. menegaskan pentingnya perbuatan mulia semacam itu,

“Barangsiapa membimbing manusia menuju kebaikan akan mendapat ganjaran dari Allah setara dengan ganjaran yang dinikmati orang-orang yang mempraktikkan bimbingan itu.” (HR Muslim)

Sesungguhnya, Al-Qur`an menyeru manusia untuk mensyukuri tanda-tanda ciptaan yang menunjukkan adanya Allah dan Kemahabesarannya, dan agar punya dampak atas diri mereka. Berikut ini adalah sebagian dari banyak ayat yang dapat menarik perhatian manusia pada subjek ini,

“Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak- retak sedikit pun? Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk jadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah). Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadi kebangkitan.” (Qaaf [50]:6-11)

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.” (al-Ghaasyiyah [88]: 17-21)

“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? Dan telah kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kukuh supaya bumi itu (tidak) guncang bersama mereka, dan telah Kami jadikan pula bumi itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk. Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya. Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari, dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (al-Anbiyaa` [21]: 30-33)

“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang benar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka darinya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur? Mahasuci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (Yaasiin [36]: 33-36)

“Sesungguhnya, pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini; dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit, lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya, dan pada perkisaran angin terdapat pula tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” (al–Jaatsiyah [45]: 3-5)

Mendakwahkan Eksistensi Allah kepada Masyarakat Umum

Seperti sudah dipaparkan sebelumnya, Al-Qur`an menampil­kan beragam-ragam metode untuk memdakwahkan Islam. Keputusan mengenai metode mana yang akan dipakai terserah pada kebijakan dan kearifan orang beriman. Banyak bagian dari Al-Qur`an merujuk pada cara para Rasul Allah menyampaikan Islam kepada orang per orang. Mereka juga menyebutkan satu penyampaian secara terbuka kepada masyarakat awam secara umum.

Al-Qur`an menyatakan bahwa para utusan Allah menyapa warga masyarakat umum dengan sapaan “umatku”. Salah satu dari ayat-ayat (Qur`an) tentang ini berbunyi,

“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Aad saudara mereka, Huud. Ia berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa kepada-Nya?” (al-A’raaf [7]: 65)

Pada umumnya, manusia merasa terhina bila dipengaruhi oleh seseorang yang berbeda pandangan dengan mereka. Sebaliknya, meskipun mereka bisa diyakinkan pada kebenaran pandangan-pandangan itu, mereka tetap cenderung menolak sepenuhnya karena buruk sangka pribadi. Ini sebabnya, orang yang mengetahui adanya persepsi demikian mungkin akan memperoleh hasil yang lebih baik dengan menyapa masyarakat umum ketimbang secara orang per orang, karena reaksi positif dari sejumlah orang mungkin membawa dampak menguntungkan atas orang lain.

“Ibu Kota-Ibu Kota itu”

“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibu kota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami....” (al-Qashash [28]: 59)

Sepanjang sejarah, Allah telah mengutus para rasul-Nya ke ibu kota-ibu kota untuk menyampaikan kepada para penduduk­nya pesan-pesan-Nya. Ini dapat dijadikan pedoman oleh umat beriman, sebab sebagai satu persyaratan umum adalah lebih efektif memusatkan perhatian pada tempat-tempat utama, lalu mengembangkannya ke kawasan-kawasan lain. Sesungguhnya, Al-Qur`an menegaskan bahwa orang-orang beriman pertama-pertama mengembangkan Islam kepada keluarga mereka. Setelah sanak keluarga merasakan keindahannya, mereka menargetkan pengembangan kepada kelompok yang lebih besar. Inilah cara paling efektif dalam memanfaatkan bakat dakwah mereka dengan sebaik-baiknya.

Sebagaimana diindikasikan oleh Al-Qur`an, para rasul pada umumnya diutus ke kawasan-kawasan padat penduduk di mana “para pemimpin bangsa”, yakni mereka yang umumnya paling keras kepala, menetap. Para utusan Allah pertama-tama menyeru mereka untuk hanya takut kepada Allah dan tentang keindahan moral Islam, sebab para rasul sadar bahwa kecenderungan para pemimpin terhadap Islam akan memberi dampak positif pada banyak orang lain.

Seruan Nabi Musa a.s. kepada Fir’aun adalah satu contoh yang bagus,

“Sudahkah sampai kepadamu (ya Muhammad) kisah Musa. Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci ialah Lembah Thuwa, ‘Pergilah kamu kepada Fir’aun, sesungguh­nya dia telah melampaui batas, dan katakanlah (kepada Fir’aun), ‘Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar kamu takut kepada-Nya.’’” (an-Naazi’aat [79]: 15-19)

Kearifbijaksanaan yang terpancar dari ayat-ayat ini su­dah bercerita dengan sendirinya: dengan membuktikan kesalah­an pandangan dari orang kafir terkemuka akan membuka pe­luang besar bagi pengikut pemimpin kaum itu untuk menerima ke­benaran.

Pengaruh Kekayaan dan Kegemerlapan

Keindahan fisik lingkungan termasuk faktor penting lain­nya yang menunjang keberhasilan pendakwah dalam misi me­nye­bar­luaskan amanah Allah. Sebetulnya, apakah ini merupa­kan kehendak atau bukan, berupaya mendirikan satu tempat yang indah sudah merupakan satu hal lumrah dari keinginan dan tekad semua orang beriman untuk mendekati keindahan surga; orang-orang beriman senantiasa berusaha menerapkan pemahaman qur`ani tentang estetika dan seni keindahan pada lingkungan mereka dan sekitarnya. Al-Qur`an mengandung urai­an teramat gemerlapan dan menakjubkan tentang puri, ta­man, sungai, dipan, dan beragam keindahan dekorasi lainnya yang semuanya menggetarkan jiwa manusia. Dengan begitu, orang-orang beriman mengadopsi gaya estetika qur`ani ini.

Lebih jauh, Al-Qur`an memberi perhatian besar terhadap betapa tingginya serapan di lubuk jiwa umat Islam akan dampak positif dari lingkungan megah dan indah. Dengan cara ini, mereka yang baru diperkenalkan pada Islam hendaknya bisa melihat gambaran bentuk surga menyatu di dalam gaya hidup orang-orang beriman dan lingkungan mereka. Ini membawa hati mereka lebih dekat kepada Islam dan, sebagaimana dengan semua aspek lainnya dari Al-Qur`an, mereka dapat meneliti bagaimana konsep qur`ani diamalkan.

Al-Qur`an memberikan kepada kita sebuah contoh yang tersebut dalam kisah Nabi Sulaiman a.s. dan Ratu Saba,

“Dikatakan kepadanya, ‘Masuklah ke dalam istana.’ Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman, ‘Sesungguhnya, ia adalah istana licin terbuat dari kaca.’ Berkatalah Balqis, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.’” (an-Naml [27]: 44)

Setelah mendengar bahwa Ratu Saba dan rakyatnya menyembah matahari, Nabi Sulaiman a.s. menyeru mereka supaya memasrahkan diri kepada Allah dan Islam. Ratu Saba yang mengunjungi istana Nabi Sulaiman a.s. setelah menerima surat beliau, sangat terkesan pada keindahan dan kekayaan yang dilihatnya di sana. Kekagumannya pada kemolekan itu menggiring dirinya untuk memasrahkan diri ke jalan kebenaran.

Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa lantai istana itu sedemikian tembus pandang sehingga Ratu mengira itu limpahan air, dan karena itu ia menyingkapkan bajunya. Lantai tersebut mengandung unsur kemiripan menakjubkan dengan surga, yang digambarkan Al-Qur`an sebagai sebuah tempat penuh dengan “taman-taman” dengan “sungai-sungai mengalir di bawahnya”, dan meskipun istana itu dibangun oleh manusia, ia memberikan dampak seketika atas mereka yang diserukan Islam. Dengan mengakui bahwa keindahan yang melingkarinya adalah hasil dari kearifbijaksanaan, Balqis menyerahkan dirinya pada keagungan (superiority) Islam.

Lebih dari itu, estetika penampilan suatu tempat dan ke­ber­sihannya memberikan rasa lega pada jiwa manusia. Tempat-tempat yang terang benderang, lapang, dan bersih menu­kil­kan satu dekorasi estetika tersendiri yang amat menyen­tuh pada kedamaian pikiran dari orang-orang beriman, dan se­ca­ra positif membawa dampak kepada siapa dakwah sedang disampaikan. Di sisi lain, tempat-tempat gelap, suram, dan berantakan dapat menyebalkan setiap orang, meskipun mereka sendiri tidak menyadari kenyataan ini.

Namun, kita harus ingat bahwa Allah membimbing dan menganugerahkan mata hati kepada tiap manusia. Suasana-suasana demikian hanya dapat berfungsi sebagai suatu do’a, sebab semua itu tidak menjamin bahwa manusia akan memperoleh keyakinan akan adanya Allah. Sementara itu, apa yang sebetulnya perlu diindahkan oleh orang–orang beriman adalah berusaha maksimal untuk mendapatkan ridha Allah dan menyeru manusia kepada Islam sebagai satu amal ibadah. Imbalan untuk pengabdian ini, akan secara adil didapatkan manusia di hari kemudian.

Penampilan Fisik

Melalui penampilan fisik, umat beriman memperlihatkan bah­wa mereka hidup menurut prinsip-prinsip moral Al-Qur`an. Di dalam Al-Qur`an, ada seruan Allah kepada manusia beriman untuk sepenuhnya memberi perhatian pada raga dan merawatnya. Dengan mematuhi semua rekomendasi dan perintah Allah akan membuat semua insan beriman, mereka yang melaksanakan suruhan-suruhan Al-Qur`an, mendapatkan kesan mendalam di mata sekalian manusia.

Di pihak lain, hanyalah pikiran yang jernih dan terbuka yang mampu memfokuskan perhatian pada subjek tertentu. Oleh sebab itu, makhluk beriman yang menyeru manusia lain kepada Islam haruslah menjauhi apa pun yang dapat membuyarkan perhatian orang-orang tidak beriman, agar mereka dapat memusatkan perhatian pada pesan dan tanda-tanda keberadaan Allah. Penampilan yang tidak necis membuahkan dampak negatif dan tak menyenangkan pada pemirsa­/pendengar, sementara juru dakwah yang berserah diri pada Al-Qur`an akan sentiasa menyenangkan pandangan mata. Ne­cis­nya penampilan dan kebersihan mereka menumbuhkan rasa kagum, hormat, dan menggugah perhatian.

Penuhi Kebutuhan Manusia

Hal lain yang ditunjuk dalam Al-Qur`an adalah agar makhluk beriman memenuhi kebutuhan mereka yang baru saja diperkenalkan kepada Islam. Ini merupakan kecenderungan alami bagi manusia beriman, karena moralitas qur`ani mengajar­kan mereka supaya berbaik hati dan peduli pada sesama meskipun kita sepenuhnya asing bagi mereka.

Surah at-Taubah [9]: 60, “... para mualaf yang dibujuk hatinya...,” menyebutkan bahwa mereka ini termasuk dalam kelompok penerima zakat. Oleh sebab itu, apa pun yang diberi­kan kepada mereka yang hatinya hendak direbut kepada Is­lam adalah sejalan dan patuh pada tuntunan Al-Qur`an.

Di pihak lain, memusatkan perhatian pada suatu subjek penting membutuhkan banyak daya tenaga (energy) baik buat pendengar maupun penceramah. Mengekang energi seseorang kepada topik tertentu untuk waktu lama dapat mendatangkan keletihan raga dan mental. Menawarkan sesuatu kepada mereka untuk dimakan atau diminum dapat meningkatkan daya tenaga ke taraf tertentu dan menolong mereka berkonsentrasi.

Keikhlasan

Al-Qur`an menyediakan banyak metode menguntungkan untuk mendakwahkan pesan. Akan tetapi, yang membuat metode-metode dan upaya ini efektif adalah keikhlasan. Pengertian ikhlas menurut Al-Qur`an agak beda dari apa yang dipahami oleh masyarakat yang jahili. Keikhlasan sejati hanya dapat dirasakan apabila mereka yang berceramah yakin pada apa yang diceramahkan. Ketidakikhlasan akan terungkap manakala ucapan tidak sesuai dengan rekomendasi-rekomendasi Allah, dapat diketahui dengan mudah dari sikap bagaimana seseorang bicara.

Di pihak lain, sikap dari mereka yang sungguh-sungguh meyakini kebenaran dari apa yang mereka dakwahkan dan hidup dengannya agak sedikit berbeda. Sebagai contoh, orang yang berkeyakinan kuat adanya akhirat menjelaskan neraka dengan sikap meyakinkan. Nada suara, ekpresi, dan tata bicara mereka memaparkan perasaan mereka sesungguhnya, sehingga menggugah pihak lain menerima kebenaran adanya neraka yang menakutkan itu. Penjelasan oleh mereka yang tidak menguasai unsur eksistensinya, di sisi lain, mungkin menghasilkan dampak negatif pada orang lain. Jadi, nilai-nilai, sikap, dan kehidupan orang-orang ini hendaknya mendukung uraian mereka.

Kita juga perlu ingat bahwa keikhlasan hanya dapat diperoleh melalui keyakinan murni. Allah minta perhatian kita pada ciri sifat dari para utusan-Nya sebagaimana disebutkan di dalam banyak ayat. Sesungguhnya, dengan maksud menyangkal pengaruh seruan yang telah disampaikan para utusan Allah pada jiwa mereka, orang-orang kafir sepanjang sejarah memutarbalikkan semua itu dengan menyebut­nya sihir belaka.

Khotbah yang Menentukan

Mendakwahkan pesan secara arif bijaksana, yakni khotbah singkat, padat, dan efektif, adalah wajah lain dari adil yang sama efektifnya dengan keikhlasan. Pidato seperti ini bermakna menjelaskan satu subjek melalui beberapa kata yang memukau, mengutarakan hal-hal terpenting saja, dan menghindari rincian-rincian yang tak ada kaitannya. Al-Qur`an menegaskan pentingnya pidato yang arif bijaksana,

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu Dialah yang lebih mngetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (an-Nahl [16]: 125)

Kunci untuk pidato bijaksana adalah keikhlasan. Dari ayat di bawah ini, kita memahami bahwa kearifan tidak dapat dipalsukan. Dan seseorang bisa mendapatkannya hanya dengan Kehendak Allah,

“Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Qur`an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia....”(al-Baqarah [2]: 269)

Allah menekankan perhatian terhadap pentingnya khotbah yang menentukan, dengan mengatakan itu adalah satu hikmah dari sudut pandang Dia, sebagaimana dapat kita baca di bawah ini,

“Dan setelah cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan kepadanya (Musa) hikmah (kenabian) dan pengeta­huan. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-Qashash [28]: 14)

“Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya (Dawud) hikmah dan kebijaksanaan dalam menye­lesaikan perselisihan.” (Shaad [38]: 20)

“... Allah memberikan kepadanya (Dawud) pemerintahan dan hikmah, (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki....” (al-Baqarah [2]: 251)

“... Kami telah memberikan kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.” (an-Nisaa` [4]: 54)

“(Allah berkata), ‘Hai Yahya, ambillah Al-Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan ke­pa­danya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.’” (Maryam [19]: 12)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS