RSS

Konsep Kebijaksanaan Pilihan di Dalam Al-Qur`an


Al-Qur`an selalu menekankan konsep kebijaksanaan. Kuali­tas ini dikhususkan untuk orang-orang beriman. Namun, ma­nu­sia menggunakan istilah-istilah bijaksana dan cerdik itu bertukar-balik. Oleh sebab itu, per­­bedaan makna di antara kedua kata tersebut selalu membingungkan, dengan ang­gap­an, yang tentu saja keliru, bahwa orang cerdik dengan sen­di­ri­nya bi­jak­sana. Bijaksana, bagaimanapun, adalah memahami bah­wa Allah hanya meridhai insan-insan beriman. Itu berarti memberdayakan manusia untuk menganalisis dan memahami hal yang dikemukakan ini secara tepat agar mereka mengenal hu­kum alam sebenarnya dan mencarikan solusi pemecahan masalah de­ngan setepat-tepatnya. Berbeda dengan pengertian awam, bi­jak­sana tak ada kaitannya dengan kepintaran seseorang; bah­kan itu merupakan hasil dari keteguhan keyakinan se­se­orang. Dalam banyak ayat, Allah merujuk pada orang-orang tidak beriman sebagai “manusia tanpa kebijaksanaan”.

Kepintaran seseorang tampak dari reaksi seseorang saat meng­hadapi kejadian tak terduga dan situasi runyam. Dibanding­kan dengan reaksi dari mereka yang tidak punya pema­ham­an mendalam tentang adanya Allah, dan karena itu disebut tidak punya wisdom (kebijaksanaan), dengan mereka yang memiliki keyakinan kuat, tampak perbedaan kadar kebijak­sa­na­an masing masing kelompok itu. Bila dihadapkan pada ke­ja­di­an-kejadian mendadak, manusia beriman tetap bersikap mo­de­rat dan menggunakan kebijakan mereka untuk mendapatkan pe­mecahan serta-merta dan tak sia-sia, terlepas dari ke­ru­mit­an situasi. Pendirian bijaksana semacam itu merupakan ha­sil dari pemahaman mereka pada Al-Qur`an, yang Allah ung­kap­kan sebagai satu “kriteria dari pertimbangan antara be­nar dan salah” dan hidup mengikuti perintahnya.

Setiap orang dapat merancang beragam pola pemecahan ma­­salah bila dihadapkan pada situasi yang menghendaki kewas­padaan dan kebijakan. Dan, dengan begitu mereka dapat mencegah kerugian. Namun, tidak ada solusi yang sepasti dan seabadi daripada apa yang diberikan oleh Al-Qur`an, karena berasal dari Allah, yang Maha Mengetahui. Orang beriman yang bertawakal pada Al-Qur`an dan telah dengan kokoh menggenggam “semua petuah ayat-ayatnya,” tentu mendapatkan beragam hasil yang diharapkan dalam segala urusan mereka.

Dalam bab berikut, kita akan menyoroti berbagai hal tentang tindakan-tindakan bijak arahan Al-Qur`an yang diran­cang untuk membimbing orang-orang beriman.

Menganalisis Berbagai Tahapan

Kemungkinan dalam Perkembang­an

Adanya kemampuan untuk memikirkan secara menyeluruh se­belum mengawali suatu tugas, menaksir-naksir tahapan-tahap­an kemungkinan menjelang pelaksanaannya, memperhitungkan ke­mungkinan beragam situasi dan akibatnya yang dapat ter­ja­di merupakan tanda-tanda signifikan dari kebijaksanaan. Orang yang tidak bijaksana gagal mempertimbangkan hal-hal ter­­selubung ini dan abai mempertimbangkan pro-kontra se­be­lum membuat keputusan atau mewujudkan suatu gagasan. Ke­te­le­doran sering mendatangkan akibat yang tidak diharapkan dan tak terduga.

Metode Nabi Ibrahim a.s. dalam menyebarkan wahyu Allah ke­pada kaumnya dapat dijadikan teladan uniknya kemampuan ber­pikir menakjubkan dari orang beriman. Kaumnya, yang penyem­bah berhala batu pahatan, bersikeras pada kepercayaan se­sat mereka, memuja patung, meskipun tidak se­utuh­nya mereka yakin akan kebenarannya. Sebab itu, Nabi Ibrahim a.s. me­mutuskan untuk menggunakan metode lain dan menyiapkan sa­tu rencana tahapan tindakan berkelanjutan.

Dalam rangka membuktikan kepada kaumnya, bahwa berhala-berhala itu sama sekali tidak bermakna selain dari ke­ping­an-kepingan batu belaka, beliau memutuskan untuk meng­han­curkan berhala-berhala tersebut. Tapi sebelum rencana di­laksanakan, dia telusuri metode bijaksana yang paling te­pat, dengan lebih dulu memastikan tidak ada seorang pun yang melihat perbuatannya. Metode itu tergambar dalam ayat berikut,

“Dia (Ibrahim) berkata, ‘Sesungguhnya, aku sakit.’ Lalu mereka berpaling darinya dengan membelakang.” (ash-Shaaffat [37]: 89-90)

Sebagaimana diungkapkan dalam sejumlah ayat, segera se­­telah beliau sampaikan bahwa dirinya sakit, orang-orang di sekelilingnya meninggalkan tempat itu dan membiarkan dia sen­dirian bersama berhala-berhala itu. Kisah selanjutnya adalah sebagai berikut.

“’Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya ter­hadap berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkan­­nya.’ Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu han­cur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) da­ri patung-patung yang lain; agar mereka kembali (un­tuk ber­tanya) kepadanya.” (al-Anbiyaa` [21]: 57-58)

Nabi Ibrahim a.s. menghancurkan semua berhala batu tersebut, kecuali yang terbesar, yang jadi sosok pujaan kaum­nya, karena mereka anggap memiliki kekuatan besar. Tidak la­ma kemudian, kaumnya datang menghampiri Nabi Ibrahim dalam keadaan marah,

“Mereka bertanya, ‘Kamukah yang melakukan pebuatan ini ter­hadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?’ Ibrahim menjawab, ‘Sebenarnya patung yang besar itulah yang me­lakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.’ Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan lalu berkata, ‘Sesung­guh­nya, kami sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (di­ri sendiri).’” (an-Anbiyaa` [21]: 62-64)

Dengan mencermati ayat-ayat bersangkutan secara menyelu­ruh, nyatalah bahwa Nabi Ibrahim a.s. mewujudkan rencana be­liau secara bertahap dengan sangat bijaksana. Hasil­nya, beliau mendapatkan apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya, ka­umnya yang memuja berhala mulai menyadari bahwa patung satu-satunya yang tersisa tidak punya kemampuan untuk me­no­long mereka. Patung besar ini, seperti juga berhala yang la­in­nya yang sudah hancur berantakan, tak lebih dari ke­ping­an batu yang tak bisa melihat, mendengar, atau ber­bi­ca­ra. Lebih penting lagi, batu-batu itu tidak mampu me­lin­dungi diri mereka sendiri. Inilah pesan yang sesungguhnya disampaikan Nabi Ibrahim a.s. kepada kaumnya: Jauhi pe­nyem­bah­an batu dan sembahlah Allah, sang Maha Pencipta seluruh alam raya.

Nabi Ibrahim a.s. telah menganalisis kemungkinan-kemung­kinan yang mungkin timbul dan mendapatkan hasil yang di­harapkan. Tamsil ini, bersama dengan banyak contoh serupa yang terhampar di dalam Al-Qur`an, menandaskan bahwa memperhitungkan situasi lingkungan serta sisi psikologis ma­nu­sia agaknya cukup efisien untuk mendapatkan hasil akhir yang dikehendaki. Orang-orang beriman yang bijak lestari se­­lalu memperhitungkan pelaksanaan satu tugas, tahap demi tahap, dan dengan cermat mempertimbangkan faktor dan elemen yang bakal membawa hasil jangka panjang. Sementara itu, tin­dakan-tindakan berlandaskan Al-Qur`an yang mereka wujudkan, sebagaimana juga inisiatif yang mereka prakarsai untuk tu­juan baik, tidak akan membawa kerugian di kemudian hari.

Sahabat Andalan

Sebelum pergi menemui Fir’aun untuk menyampaikan pesan Allah, Nabi Musa a.s. meminta persetujuan Allah agar mengizin­kan saudaranya, Harun a.s., untuk menyertainya, seperti dapat kita baca dalam ayat berikut,

“Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluarga­ku, yaitu Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia ke­kuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, su­pa­ya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak meng­ingat Engkau. Sesungguhnya, Engkau Maha melihat (ke­ada­an) kami.” (Thaahaa [20]: 29-35)

Sebagaimana penjelasan ayat-ayat itu, adalah bijaksana untuk mendapatkan sahabat andalan bila menghadapi satu tugas penting. Sesungguhnya, Allah mengabulkan do’a ini. Ayat ber­ikut menegaskan manfaat-manfaat lahiriah dan batiniah dari keikutsertaan teman andalan,

“Allah berfirman, ‘Kami akan membantumu dengan saudara­mu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang be­sar, maka mereka tidak dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mukjizat Kami, kamu ber­dua dan orang yang mengikuti kamulah yang menang.’” (al-Qashash [28]: 35)

Bila orang-orang beriman berpegang pada metode ini, me­­reka dapat saling menolong bila salah seorang dari mereka ga­gal atau keliru. Di samping itu, sudah menjadi fakta, ada­­lah lebih mudah bagi dua insan beriman untuk terus memelihara keadaan mengingat kepada Allah, sebab mereka dapat saling mengingatkan terhadap tugas ini manakala pikiran sa­­lah seorang dari mereka mulai bimbang. Ini satu rahasia lain yang diungkapkan ayat tersebut.

Tentu saja, masih banyak manfaat lain yang dapat diraih dari kehadiran sahabat andalan. Keberadaan insan ber­iman la­innya di sisi seseorang dapat menjamin keamanan mereka, se­bab orang yang abai meramalkan suatu bahaya mungkin bisa di­selamatkan oleh tindakan teman pendamping untuk mencegah ri­siko yang mungkin menerpa.

Pembagian Tugas

Allah bersumpah atas sejumlah hal di dalam Al-Qur`an un­tuk menekankan pentingnya hal-hal tersebut untuk diperhatikan. Salah satunya mengenai pembagian tugas.

Dengan bersumpah demi, “(malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan,” (adz-Dzaariyaat [51]: 4) Allah menegas­kan manfaat dari perkongsian. Dengan mematuhi nasihat ini, agar mendistribusikan kerja di antara orang-orang beriman, banyak waktu dapat dihemat dan memungkinkan mereka me­nye­le­sai­kan tugas lebih cepat tinimbang di kerjakan seorang di­ri. Ternyata, satu tugas yang memerlukan sepuluh jam untuk di­se­le­sai­kan satu orang dapat diselesaikan dalam hanya satu jam ji­ka sepuluh orang dilibatkan di dalamnya.

Keuntungan lain adalah tercapainya kualitas hasil akhir yang lebih ting­gi. Dari kerja sama semacam ini, tiap peserta dapat mengambil kearifan, pengetahuan, keahlian, dan pengalaman dari mereka yang turut serta dalam pekerjaan tersebut.

Sebagai tambahan, manakala sejumlah orang dilibatkan da­lam pelaksanaan suatu tugas, kesalahan dan kekeliruan poten­si­al dan kerusakan, yang acap timbul dari ketergesa-gesaan, bisa banyak dikurangi.

Dalam masyarakat tidak beriman, orang umumnya cenderung memonopoli satu pekerjaan untuk diri sendiri dan tidak per­lu berkongsi dengan orang lain; tujuannya agar semua peng­hargaan dan imbalan yang diberikan oleh mereka yang me­nik­mati hasil pekerjaan itu menumpuk pada si pemborong sen­diri. Pembagian kerja dapat menghapus kerakusan semacam itu dan melenyapkan keinginan jelek untuk memborong keuntungan da­ri keberhasilan suatu proyek. Betapapun, suksesnya sebuah pro­yek tak lepas dari keikutkesertaan kebijakan, penge­ta­hu­an, dan pengalaman sejumlah orang, sehingga tak seorang pe­ser­ta pun berhak menyombongkan diri sabagai orang yang pa­ling besar andilnya. Sesungguhnya, orang-orang beriman ti­dak­lah mencari-cari superioritas diri, sebab segala sesuatu yang mereka inginkan adalah kesenangan Allah swt. atas amal perbuatan hamba-hamba-Nya.

Pembagian kerja juga mendatangkan manfaat lain: bekerja secara kolektif untuk keperluan bersama akan mempererat per­sahabatan, persaudaraan, dan kesetiaan sesama peserta. Bah­kan, lebih dari itu, kerja sama memungkinkan seseorang me­ngenal keindahan dan keahlian orang lain dan menepis nafsu serakah dari kalbu orang bersangkutan, dan akhirnya mem­buat dia jadi orang sederhana (moderat).

Bekerja bersama untuk mendapatkan kesenangan Allah mem­buat para peserta merasa saling dihargai, disenangi, dan ber­­bakti, karena suasana yang melandasi kerja semacam itu. Ti­ap upaya yang mereka kedepankan untuk memenuhi tugas yang diemban mencerminkan cinta dan pengabdian kepada Al­­lah. Menyadari kenyataan ini adalah faktor lain yang menyuburkan persaudaraan di kalangan orang-orang beriman.

Malam untuk Beristirahat, Siang untuk Bekerja

Al-Qur`an menyatakan siang hari adalah waktu untuk ber­aktivitas, sementara malam hari lebih baik dimanfaatkan un­tuk istirahat. Ayat yang berkenaan dengan hal itu adalah,

“Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu ber­­istirahat padanya dan (menjadikan) siang terang ben­derang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguh­nya, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar.” (Yunus [10]: 67)

Dengan meneliti tubuh manusia ter­ung­kaplah bahwa metabo­l­isme tubuh sudah diatur supaya beristirahat waktu malam dan bekerja pada siang hari. Kala mentari mulai terbenam, ke­­lenjar otak, yang berada di landasan otak, mulai mem­ben­dung melatonin. Ini membuat orang jadi kurang siaga. Fung­si ker­ja otak menurun dan suhu badan anjlok. Semua reaksi tu­buh terhadap kegelapan akhirnya merendahkan produktivitas se­seorang.

Dengan munculnya waktu fajar, peringkat melatonin berku­rang dan hormon-hormon diaktifkan. Sementara itu, suhu ba­dan meningkat dan fungsi-fungsi otak mencapai tingkat mak­simum. Faktor-faktor ini memberi sumbangan pada kesiagaan, perhatian, dan produktivitas seseorang. Fakta-fakta se­per­ti ini membawa kearifan seperti yang disebutkan dalam ayat,

“Allah menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya.”

Merahasiakan Informasi Penting terhadap

Orang yang Bermaksud Jahat

Al-Qur`an menegaskan pentingnya untuk tidak menyebarkan informasi penting kepada orang-orang yang mempunyai mak­sud je­lek, yang menyukai informasi semacam ini untuk me­len­­­­ceng­kan sesuatu yang baik dari orang-orang beriman. Oleh ka­re­na­ itu, bila orang seperti itu tahu bahwa sesuatu yang baik bakal terjadi pada orang yang tidak dia sukai, ke­cem­bu­ru­an orang tadi akan menghadang in­for­masi tersebut sampai kepada orang yang dibencinya itu dengan beragam upaya.

Al-Qur`an memberikan informasi pada kita tentang sauda­ra-saudara lelaki Nabi Yusuf a.s., yang tergolong orang-orang buruk keinginan. Karena kecemburuan mereka pada Nabi Yusuf a.s.—ayah mereka (Nabi Ya’qub) sangat mencintai adik mereka itu—maka mereka menyimpan dendam di hati. Nabi Ya’qub a.s., yang mengetahui adanya maksud jahat yang terpen­dam di hati anak anaknya itu, menasihatkan Yusuf supaya ti­dak mengungkapkan rahasia mimpinya kepada mereka. Dia tahu mimpi itu, yang mengabarkan pada Yusuf bahwa dia hamba pilihan Allah dan dianugerahi banyak karunia, akan membuat saudara-saudaranya tambah marah. Ayat-ayat Al-Qur`an men­ce­ri­takan,

“(Ingatlah) Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, ‘Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, ma­ta­hari, dan bulan, kulihat semuanya tunduk padaku.’ Ayah­­nya berkata, ‘Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mim­pimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka mem­bu­at makar (untuk membinasakan)-mu. Sesungguhnya, se­tan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. Dan de­mi­kianlah, Tuhanmu, memilihkamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebagian dari tabir mimpi mim­pi dan disempurnakan-Nya kepadamu dan kepada ke­lu­ar­ga Ya’qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nik­-mat­nya kepada dua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ib­ra­him dan Ishaq. Sesungguhnya, Tuhanmu Maha Me­nge­ta­hui lagi Mahabijaksana.’” (Yusuf [12]: 4-6)

Allah menyeru manusia merenungkan peristiwa ini, “Sesung­guhnya, ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (ki­sah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya.” (Yusuf [12]: 7) Tetap waspada kala berada di te­ngah-tengah mereka yang memiliki maksud buruk dan menolak in­formasi penting dari mereka merupakan pelajaran berguna yang bisa dipetik dari ayat-ayat ini.

Mengambil Tindakan Dini

Tindakan lain yang Allah tekankan kepada ki­ta adalah agar kita segera bereaksi bila berhadapan dengan satu situasi yang harus ditangani. Di dalam Al-Qur`an, Allah menunjukkan kepada kita satu sikap yang dipraktikkan Nabi kita saw. sebagai contoh,

“Dan (ingatlah) ketika kamu berangkat pada pagi hari da­ri rumah keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang. Dan Allah Maha Men­de­ngar lagi Maha Mengetahui.” (Ali Imran[3]: 121)

Seperti disebutkan ayat, dalam suasana perang, Nabi Mu­­ham­mad saw. meninggalkan rumah beliau pada dini hari untuk memberikan pengarahan kepada para pengikut beliau berkenaan dengan tugas-tugas mereka dan mempersiapkan mereka terhadap apa yang bakal terjadi. Selama 1400 tahun, apa yang dipraktikkan Nabi kita saw. telah membimbing dan memberi semangat kepada orang-orang beriman.

Orang yang cepat bertindak mendapatkan cukup waktu untuk mempersiapkan diri. Tambahannya, satu situasi tak ter­­duga atau satu penundaan tidaklah mendatangkan tekanan tam­bahan, sebab mereka punya cukup waktu untuk menghadapi masalah masalah ini.

Berada dalam keadaan tidak tergesa-gesa dapat secara psi­kologis dapat meningkatkan derajat kelegaan jiwa seseorang, sedangkan keterbatasan waktu dapat mem­­buat orang panik dan gelisah. Dua keadaan pikiran yang merintangi kemampuan orang berkonsentrasi, mengemukakan alasan, dan merancang pemecahan masalah yang tepat. Sebaliknya, waktu yang cukup memadai memungkinkan orang bekerja dengan kedamai­an pikiran dan nir-tekanan, mencurahkan perhatian dan kearifan mereka pada pemecahan masalah, dan dengan begitu membuka peluang memformulasikan keputusan terbaik.


Waspada di Waktu Malam

Meskipun Allah sudah menentukan malam sebagai waktu un­­tuk ketenangan, Al-Qur`an menyeru kita supaya waspada mela­lui ayat berikut,

“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluknya, dan dari ke­ja­hat­an malam apabila telah gelap-gulita.’” (al-Falaq [113]: 1-3)

Malam, khususnya saat gelap gulita, membatasi kemampuan keandalan tertentu manusia dan menjadikannya jauh le­bih sulit mengambil tindakan-tindakan pengamanan diri. Pada wak­tu malam, akan lebih sulit mempradugakan bahaya, yang ar­tinya: bahwa tingkat kepedulian seseorang tambah menurun. Fak­tor utama di belakang meningkatnya taraf risiko adalah keinginan orang-orang tidak beriman untuk terlibat dalam tin­dak kejahatan di bawah selubung kegelapan, yang me­lin­dungi mereka dari pandangan orang lain. Angka statistik ke­ja­hatan pembunuhan, pencurian, dan banyak lagi kegiatan ke­gi­at­an tidak legal dan berbahaya mengungkapkan bahwa per­bu­at­an perbuatan durjana mereka itu cenderung lebih tinggi volumenya mulai tengah malam hingga waktu fajar.

Al-Qur`an juga menyatakan bahwa orang-orang tak beriman cenderung menyakiti/mengganggu orang beriman di malam ha­ri. Seperti dapat kita baca,

“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak ber­sembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ke­tika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan ra­hasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Me­liputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (an-Nisaa` [4]: 108)

Dalam ayat lain, Allah memberi tahu kita tentang satu makar jahat terhadap Nabi Salih a.s. oleh orang-orang tidak beriman yang memendam kebencian mendalam ter­hadap beliau, dan mengingatkan kita supaya berhati-hati ter­hadap rencana rencana jahat semacam itu,

“Mereka berkata, ‘Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bah­wa kita sungguh-sungguh akan menyerangnya dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan kepada wazirnya (bahwa) kita tidak menyak­sikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar.” (an-Naml [27]: 49)

Orang-orang beriman adalah mereka yang meng­am­bil peringatan-peringatan Allah dengan penuh keyakinan, dan dengan begitu mengenggam erat pandangan rasional atas semua pe­ristiwa, menerapkan segala jenis kewaspadaan guna melindungi keselamatan mereka di malam hari. Khususnya kala be­per­gian, bekerja, atau bahkan waktu tidur, mereka tetap awas terhadap kemungkinan datangnya bahaya. Tapi, orang harus ingat bahwa semua perhatian ke arah itu tidak setara de­ngan kejahatan, karena itu manusia beriman di samping meleng­kapi persyaratan kewaspadaan yang diperlukan; lalu me­mas­rah­kan diri mereka pada ketentuan Allah.

Tidak Bertindak Sendirian

Dari catatan Al-Qur`an tentang para nabi terdahulu, yang melanjutkan pengabdian sebagai panutan untuk semua orang beriman karena kepatuhan mereka pada berbagai perintah dan larangan Allah, kita mengetahui bahwa setiap Nabi di­­temani seorang pendamping, khususnya waktu menjalankan satu misi penting. Sebuah contoh tipikal adalah Nabi Musa a.s. yang didampingi saudaranya sendiri, Harun a.s.. Sebelum me­­nemui Fir’aun, yang sangat membenci dirinya, Nabi Musa a.s. ber­­­munajat kepada Allah agar memperkenankan Harun a.s. m­e­­ne­mani beliau sebagai teman pendamping,

“Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripada aku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku un­tuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku kha­wa­tir mereka akan mendustakanku.” (al-Qashash [28]: 34)

Di samping itu, kehadiran pendamping dapat mengurangi nya­­li dan kegetolan mereka yang punya maksud maksud jahat. Se­dangkan kesendirian lebih mendorong mereka untuk me­lam­pi­as­kan niat buruk mereka.

Perjalanan Nabi Musa a.s. dan seorang muridnya adalah sa­tu contoh lain,

“Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya, ‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke per­temuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan bertahun-tahun.’ Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu me­lompat mengambil jalannya ke laut itu.” (al-Kahfi [18]: 60-61)

Sebagaimana disebut pada ayat berikutnya, Nabi Musa men­dapat keuntungan dari teman dalam perjalanan panjang itu. Praktik seperti ini, sebetulnya, merupakan satu bentuk ke­waspadaan yang bijaksana. Karena berjalan sendirian ke tem­­­pat jauh dengan orang yang tidak mengenal kondisi dan si­­tuasi wilayah bisa jadi petualangan meragukan, kalau bukan lebih jelek taruhannya. Dalam hal ini, panduan dan du­kung­­an orang lain, dalam artian material dan spiritual, me­ru­pakan pertolongan besar bila seseorang harus mengatasi ke­su­litan kesulitan yang sangat mungkin ditemui selama dan se­sudah perjalanan.

Al-Qur`an membeberkan perjalanan Nabi Muhammad saw. da­ri Mekah ke Madinah sebagai contoh lain,

“Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguh­nya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Me­kah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika ke­duanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada te­mannya, ‘janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan se­ru­an orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Ma­ha­bi­­jak­sana.” (at-Taubah [9]: 40)

Mereka yang memusuhi Nabi saw. ingin menangkap dan mem­bunuh beliau, dengan demikian akan melenyapkan pengaruhnya atas para pengikut beliau. Kalaulah Nabi saw. seorang di­ri, di bawah tekanan risiko dan berbahaya itu, tak di­ra­gu­­kan lagi, kaum penyembah berhala pasti memanfaatkan ke­sem­patan mewujudkan ambisi-ambisi jahat mereka. Itu se­bab­nya Nabi kita saw. selalu ditemani oleh setidak-tidaknya sa­tu orang beriman. Praktik inilah yang terus-menerus mem­bim­bing kaum muslimin hingga hari ini.

Hidup di Tempat-Tempat Aman

Kondisi-kondisi di sekeliling para Nabi dan pengikut-pengikut mereka dalam kurun perjuangan mereka menghadapi ke­pungan kaum musyrikin dan jahiliah telah mengharuskan para utusan Allah itu untuk meningkatkan kewaspadaan. Tekad ku­at untuk hidup sesuai dengan kaidah prinsip Islam seraya me­nyebarkan pesan Allah, betapapun, telah direspons dengan si­kap permusuhan dan kekerasan oleh puak-puak masyarakat se­kitar. Dalam banyak kasus, sikap memusuhi itu bahkan menju­rus ke upaya-upaya membunuh sejumlah nabi.

Kaum beriman berkeyakinan bahwa segala sesuatu ter­ja­di atas kehendak Allah. Kalau mereka diserang, mereka yakin ada hikmah yang terselip di dalamnya, sebab Al-Qur`an menegas­kan adanya kebaikan pada tiap peristiwa. Maka orang ber­iman yang tidak takut pada siapa atau apa pun selain dari Allah, menempuh cara cara rasionil dan meningkatkan ke­was­pa­da­an untuk menggagalkan rencana makar terhadap mereka.

Salah satu wujud kewaspadaan itu adalah membangun perbentengan kokoh dan aman di sekeliling tempat tinggal dan kota mereka. Al-Qur`an menginformasikan kepada kita ten­tang dua orang yang beperkara yang datang kepada Nabi Dawud a.s..

“Dan adakah sampai kepadamu berita tentang orang-orang beperkara ketika memanjat pagar?” (Shaad [38]: 21)

Ayat ini, yang berhubungan dengan upaya mereka untuk menemui Nabi Dawud, juga memberi gambaran kepada kita tentang tempat tinggalnya. Mungkin itu satu tempat berteduh yang aman dikelilingi tembok tinggi dan tak mudah diserang.

Wujud kewaspadaan lain yang disebut dalam Al-Qur`an ada­lah memelihara anjing di pintu-pintu masuk dan meningkat­kan keamanan. Seperti dapat kita baca,

“Dan kamu mungkin mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah hati kamu akan dipenuhi ketakutan terhadap mereka.” (al-Kahfi [18]: 18)

Pemuda-pemuda ini, yang disebut Al-Qur`an sebagai “As-habul Kahfi”, berlindung di dalam sebuah gua dari pe­ngu­asa tirani di masa itu, yang sangat membenci agama. Seperti sejumlah ayat memberitakan pada kita, Allah menghendaki mere­ka tetap dalam keadaan tidur untuk waktu bilangan tahun. Da­ri ayat-ayat tersebut, kita mengetahui bahwa selama bi­lang­an tahun itu mereka menempatkan seekor anjing di pintu gua untuk menjaga keamanan mereka.

Menghasilkan Solusi yang Tangguh dan Bertahan Lama

“Mereka berkata, ‘Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pemba­yaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?’ Dzulqarnain berkata, ‘Apa yang telah di­kuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah le­bih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan(manusia dan alat-alat) agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan potongan besi. Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua puncak gu­nung itu, berkatalah Dzulqarnain, ‘Tiuplah (api itu).’ Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, ”Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu.’ Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa melubanginya.” (al-Kahfi [18]: 94-97)

Pelajaran yang dapat diambil dari sini sudah dijelaskan sendiri oleh ayat yang kita baca: Tinimbang bergantung pada pengamanan lemah dan tidak tangguh, Dzulqarnain me­mi­lih teknologi canggih di masanya, mulai dari bahan hingga pa­da metode konstruksi, untuk membangun perbatasan yang tak ter­tembuskan, agar keamanan masyarakat di sana dapat di­pu­lih­­kan. Sebagai kewaspadaan kedua, dia tuangkan cairan tem­ba­ga mendidih ke atas pagar besi itu.

Inilah tingkat kewaspadaan yang disediakan Al-Qur`an un­tuk orang-orang beriman. Sejalan dengan rekomendasi-rekomendasi tersebut, setiap keadaan yang tidak disukai atau ti­dak menguntungkan, kecil ataupun besar, harus dihindarkan se­suai dengan kemampuan orang-orang beriman merancang pem­ba­ngunan proyek-proyek yang kokoh, tangguh, dan tak ter­tem­bus­kan oleh sembarang serangan.

Menolak Memberikan Informasi kepada Orang yang Bermaksud Jahat Akan Mengungkap Kelemahan Mereka

Mereka yang memendam benci dan cemburu terhadap orangorang beriman, siap menggunakan setiap peluang untuk me­mu­as­kan perasaan-perasaan itu. Oleh sebab itu, insan beriman ja­ngan sekali-kali memberi kesempatan apa pun kepada mereka untuk merancang serangan terselubung.

Allah minta perhatian kita pada masalah ini dengan mengkaitkannya pada kisah Nabi Yusuf a.s.. Saudara-saudara beliau yang seayah berkomplot untuk membunuhnya karena deng­ki dan cemburu, sebab ayah mereka yang sangat menyayangi Yusuf. Menurut perkiraan mereka, bila Yusuf sudah ti­ada, kasih sayang ayah akan beralih pada mereka. Untuk men­ca­pai tujuan tersebut, mereka merancang siasat busuk se­per­ti tersebut dalam surah Yusuf, sebagai berikut.

“Mereka berkata, ‘Wahai ayah kami, apa sebabnya engkau tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguh­nya kami adalah orang-orang yang mengingini ke­ba­ik­an baginya. Biarkanlah dia pergi bersama kami besok pa­gi, agar dia (dapat) bersenang-senang dan (dapat) ber­­main-main, dan sesungguhnya kami pasti menja­ga­nya.’ Ya’qub berkata, ‘Sesungguhnya, kepergian kamu bersama Yu­suf amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kamu lengah darinya.’” (Yusuf [12]: 11-13)

Sebagaimana kita pahami dari ayat-ayat ini, Nabi Ya’qub a.s. tahu bagaimana perasaan putra-putra beliau terha­dap Yusuf a.s. dan tidak menyetujui saran mereka. Dia merasa khawatir kalau-kalau serigala menyerangnya selagi mereka asyik bermain. Saudara-saudaranya, yang akhirnya mem­­bawa Yusuf bersama mereka, memasukkan dia ke dalam sebuah sumur, lalu membawa pulang baju yang dilumuri darah palsu untuk diperlihatkan kepada ayah mereka, seraya berkata­,

“’... Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba- lom­ba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan engkau sekali-ka­li tidak akan percaya pada kami, meskipun kami adalah orang-orang yang benar.’ Mereka datang membawa baju ga­misnya (yang berlumuran) dengan darah palsu….” (Yusuf [12]: 17-18)

Seperti perkabaran ayat-ayat ini, saudara-saudara Nabi Yu­suf berusaha membenarkan pengkhianatan mereka dengan meman­fa­at­kan keprihatinan Nabi Ya’qub yang telah beliau ucap­kan sebelumnya. Yang dapat kita pahami dari ayat-ayat ter­ka­it bahwa kita tidak seharusnya mengikuti kehendak buruk se­macam itu dan tipu daya orang-orang pembuat kerusakan yang telah membuka aib mereka sendiri.

Mempertimbangkan Segala Alternatif Seraya Terus Waspada

Acuh tak acuh merupakan predikat unik bagi manusia yang bersikap masa bodoh. Sesungguhnya, dalam kelompok-kelom­­pok masyarakat masa bodoh banyak masalah yang tidak ter­-se­le­saikan, karena manusia-manusianya cenderung tidak pe­du­li. Itu sebabnya orang-orang yang hidup dalam masyarakat ma­sa bodoh selalu menanggung derita sebagai konsekuensi ke­t­e­ledoran dan sikap tidak peduli.

Dalam Al-Qur`an, Allah menegaskan kekeliruan sikap ini dan mendorong orang-orang beriman supaya peduli dengan saksama dalam mengambil beragam tindakan.

Dari ayat berikut, kita pahami bahwa cermat mempertimbang­­kan segala alternatif merupakan sifat perilaku yang pa­ling tepat,

“Dan Ya’qub berkata, ‘Hai anak-anakku janganlah kamu masuk dari satu pintu gerbang, masuklah dari pintu pin­tu gerbang berbeda; namun, aku tiada dapat melepaskan kalian barang sedikitpun dari (takdir) Allah. Ke­pu­tusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; ke­pa­da­-Nyalah aku bertawakal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri.’” (Yusuf [12]: 67)

Nabi Ya’qub a.s. menasihatkan putra-putra beliau, waktu me­reka hendak pergi ke Mesir, agar memasuki kota melalui se­jumlah pintu gerbang. Hal ini benar-benar merupakan satu tin­­dakan bijaksana, karena hal itu menjamin keselamatan jiwa dan harta. Kalaulah mereka masuk lewat satu pintu sa­ja, besar kemungkinan mereka dihadang bahaya. Dengan meng­ap­likasikan ketinggian ilmu seseorang, yang Allah anu­ge­rah­kan kepada kemanusiaan agar mereka bisa mempertimbangkan me­tode terbaik mana hendak dipakai, adalah suatu ke­bi­jak­sa­na­an yang terselubung di bawah nasihat ini. Inilah satu si­kap bijaksana sesuai dengan ajaran Al-Qur`an. Lebih jauh, pe­­luang seperti ini dengan jelas mengungkap perbedaan an­ta­ra kebijaksanaan orang beriman dengan keteledoran orang ti­dak berakal.

Ingatlah, semua tindakan menuju perolehan hasil yang ber­tahan lama merupakan satu bentuk dari do’a. Sesungguhnya, tak ada rencana atau tindakan, betapapun canggihnya, yang da­pat mencegah apa yang sudah Allah takdirkan. Fakta pen­ting ini ada kaitannya dengan nasihat Nabi Ya’qub a.s. kepada putra-putra beliau,

“Dan tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf, Yusuf mem­bawa saudaranya (Bunyamin) ke tempatnya, Yusuf berka­ta, ‘Sesungguhnya, aku ini adalah saudaramu, maka ja­nganlah kamu berdukacita terhadap apa yang telah mereka kerjakan.’” (Yusuf [12]: 69)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS