Al-Qur`an selalu menekankan konsep kebijaksanaan. Kualitas ini dikhususkan untuk orang-orang beriman. Namun, manusia menggunakan istilah-istilah bijaksana dan cerdik itu bertukar-balik. Oleh sebab itu, perbedaan makna di antara kedua kata tersebut selalu membingungkan, dengan anggapan, yang tentu saja keliru, bahwa orang cerdik dengan sendirinya bijaksana. Bijaksana, bagaimanapun, adalah memahami bahwa Allah hanya meridhai insan-insan beriman. Itu berarti memberdayakan manusia untuk menganalisis dan memahami hal yang dikemukakan ini secara tepat agar mereka mengenal hukum alam sebenarnya dan mencarikan solusi pemecahan masalah dengan setepat-tepatnya. Berbeda dengan pengertian awam, bijaksana tak ada kaitannya dengan kepintaran seseorang; bahkan itu merupakan hasil dari keteguhan keyakinan seseorang. Dalam banyak ayat, Allah merujuk pada orang-orang tidak beriman sebagai “manusia tanpa kebijaksanaan”.
Kepintaran seseorang tampak dari reaksi seseorang saat menghadapi kejadian tak terduga dan situasi runyam. Dibandingkan dengan reaksi dari mereka yang tidak punya pemahaman mendalam tentang adanya Allah, dan karena itu disebut tidak punya wisdom (kebijaksanaan), dengan mereka yang memiliki keyakinan kuat, tampak perbedaan kadar kebijaksanaan masing masing kelompok itu. Bila dihadapkan pada kejadian-kejadian mendadak, manusia beriman tetap bersikap moderat dan menggunakan kebijakan mereka untuk mendapatkan pemecahan serta-merta dan tak sia-sia, terlepas dari kerumitan situasi. Pendirian bijaksana semacam itu merupakan hasil dari pemahaman mereka pada Al-Qur`an, yang Allah ungkapkan sebagai satu “kriteria dari pertimbangan antara benar dan salah” dan hidup mengikuti perintahnya.
Setiap orang dapat merancang beragam pola pemecahan masalah bila dihadapkan pada situasi yang menghendaki kewaspadaan dan kebijakan. Dan, dengan begitu mereka dapat mencegah kerugian. Namun, tidak ada solusi yang sepasti dan seabadi daripada apa yang diberikan oleh Al-Qur`an, karena berasal dari Allah, yang Maha Mengetahui. Orang beriman yang bertawakal pada Al-Qur`an dan telah dengan kokoh menggenggam “semua petuah ayat-ayatnya,” tentu mendapatkan beragam hasil yang diharapkan dalam segala urusan mereka.
Dalam bab berikut, kita akan menyoroti berbagai hal tentang tindakan-tindakan bijak arahan Al-Qur`an yang dirancang untuk membimbing orang-orang beriman.
Menganalisis Berbagai Tahapan
Kemungkinan dalam Perkembangan
Adanya kemampuan untuk memikirkan secara menyeluruh sebelum mengawali suatu tugas, menaksir-naksir tahapan-tahapan kemungkinan menjelang pelaksanaannya, memperhitungkan kemungkinan beragam situasi dan akibatnya yang dapat terjadi merupakan tanda-tanda signifikan dari kebijaksanaan. Orang yang tidak bijaksana gagal mempertimbangkan hal-hal terselubung ini dan abai mempertimbangkan pro-kontra sebelum membuat keputusan atau mewujudkan suatu gagasan. Keteledoran sering mendatangkan akibat yang tidak diharapkan dan tak terduga.
Metode Nabi Ibrahim a.s. dalam menyebarkan wahyu Allah kepada kaumnya dapat dijadikan teladan uniknya kemampuan berpikir menakjubkan dari orang beriman. Kaumnya, yang penyembah berhala batu pahatan, bersikeras pada kepercayaan sesat mereka, memuja patung, meskipun tidak seutuhnya mereka yakin akan kebenarannya. Sebab itu, Nabi Ibrahim a.s. memutuskan untuk menggunakan metode lain dan menyiapkan satu rencana tahapan tindakan berkelanjutan.
Dalam rangka membuktikan kepada kaumnya, bahwa berhala-berhala itu sama sekali tidak bermakna selain dari kepingan-kepingan batu belaka, beliau memutuskan untuk menghancurkan berhala-berhala tersebut. Tapi sebelum rencana dilaksanakan, dia telusuri metode bijaksana yang paling tepat, dengan lebih dulu memastikan tidak ada seorang pun yang melihat perbuatannya. Metode itu tergambar dalam ayat berikut,
“Dia (Ibrahim) berkata, ‘Sesungguhnya, aku sakit.’ Lalu mereka berpaling darinya dengan membelakang.” (ash-Shaaffat [37]: 89-90)
Sebagaimana diungkapkan dalam sejumlah ayat, segera setelah beliau sampaikan bahwa dirinya sakit, orang-orang di sekelilingnya meninggalkan tempat itu dan membiarkan dia sendirian bersama berhala-berhala itu. Kisah selanjutnya adalah sebagai berikut.
“’Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya.’ Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.” (al-Anbiyaa` [21]: 57-58)
Nabi Ibrahim a.s. menghancurkan semua berhala batu tersebut, kecuali yang terbesar, yang jadi sosok pujaan kaumnya, karena mereka anggap memiliki kekuatan besar. Tidak lama kemudian, kaumnya datang menghampiri Nabi Ibrahim dalam keadaan marah,
“Mereka bertanya, ‘Kamukah yang melakukan pebuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?’ Ibrahim menjawab, ‘Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.’ Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan lalu berkata, ‘Sesungguhnya, kami sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri).’” (an-Anbiyaa` [21]: 62-64)
Dengan mencermati ayat-ayat bersangkutan secara menyeluruh, nyatalah bahwa Nabi Ibrahim a.s. mewujudkan rencana beliau secara bertahap dengan sangat bijaksana. Hasilnya, beliau mendapatkan apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya, kaumnya yang memuja berhala mulai menyadari bahwa patung satu-satunya yang tersisa tidak punya kemampuan untuk menolong mereka. Patung besar ini, seperti juga berhala yang lainnya yang sudah hancur berantakan, tak lebih dari kepingan batu yang tak bisa melihat, mendengar, atau berbicara. Lebih penting lagi, batu-batu itu tidak mampu melindungi diri mereka sendiri. Inilah pesan yang sesungguhnya disampaikan Nabi Ibrahim a.s. kepada kaumnya: Jauhi penyembahan batu dan sembahlah Allah, sang Maha Pencipta seluruh alam raya.
Nabi Ibrahim a.s. telah menganalisis kemungkinan-kemungkinan yang mungkin timbul dan mendapatkan hasil yang diharapkan. Tamsil ini, bersama dengan banyak contoh serupa yang terhampar di dalam Al-Qur`an, menandaskan bahwa memperhitungkan situasi lingkungan serta sisi psikologis manusia agaknya cukup efisien untuk mendapatkan hasil akhir yang dikehendaki. Orang-orang beriman yang bijak lestari selalu memperhitungkan pelaksanaan satu tugas, tahap demi tahap, dan dengan cermat mempertimbangkan faktor dan elemen yang bakal membawa hasil jangka panjang. Sementara itu, tindakan-tindakan berlandaskan Al-Qur`an yang mereka wujudkan, sebagaimana juga inisiatif yang mereka prakarsai untuk tujuan baik, tidak akan membawa kerugian di kemudian hari.
Sahabat Andalan
Sebelum pergi menemui Fir’aun untuk menyampaikan pesan Allah, Nabi Musa a.s. meminta persetujuan Allah agar mengizinkan saudaranya, Harun a.s., untuk menyertainya, seperti dapat kita baca dalam ayat berikut,
“Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, yaitu Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya, Engkau Maha melihat (keadaan) kami.” (Thaahaa [20]: 29-35)
Sebagaimana penjelasan ayat-ayat itu, adalah bijaksana untuk mendapatkan sahabat andalan bila menghadapi satu tugas penting. Sesungguhnya, Allah mengabulkan do’a ini. Ayat berikut menegaskan manfaat-manfaat lahiriah dan batiniah dari keikutsertaan teman andalan,
“Allah berfirman, ‘Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka tidak dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mukjizat Kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamulah yang menang.’” (al-Qashash [28]: 35)
Bila orang-orang beriman berpegang pada metode ini, mereka dapat saling menolong bila salah seorang dari mereka gagal atau keliru. Di samping itu, sudah menjadi fakta, adalah lebih mudah bagi dua insan beriman untuk terus memelihara keadaan mengingat kepada Allah, sebab mereka dapat saling mengingatkan terhadap tugas ini manakala pikiran salah seorang dari mereka mulai bimbang. Ini satu rahasia lain yang diungkapkan ayat tersebut.
Tentu saja, masih banyak manfaat lain yang dapat diraih dari kehadiran sahabat andalan. Keberadaan insan beriman lainnya di sisi seseorang dapat menjamin keamanan mereka, sebab orang yang abai meramalkan suatu bahaya mungkin bisa diselamatkan oleh tindakan teman pendamping untuk mencegah risiko yang mungkin menerpa.
Pembagian Tugas
Allah bersumpah atas sejumlah hal di dalam Al-Qur`an untuk menekankan pentingnya hal-hal tersebut untuk diperhatikan. Salah satunya mengenai pembagian tugas.
Dengan bersumpah demi, “(malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan,” (adz-Dzaariyaat [51]: 4) Allah menegaskan manfaat dari perkongsian. Dengan mematuhi nasihat ini, agar mendistribusikan kerja di antara orang-orang beriman, banyak waktu dapat dihemat dan memungkinkan mereka menyelesaikan tugas lebih cepat tinimbang di kerjakan seorang diri. Ternyata, satu tugas yang memerlukan sepuluh jam untuk diselesaikan satu orang dapat diselesaikan dalam hanya satu jam jika sepuluh orang dilibatkan di dalamnya.
Keuntungan lain adalah tercapainya kualitas hasil akhir yang lebih tinggi. Dari kerja sama semacam ini, tiap peserta dapat mengambil kearifan, pengetahuan, keahlian, dan pengalaman dari mereka yang turut serta dalam pekerjaan tersebut.
Sebagai tambahan, manakala sejumlah orang dilibatkan dalam pelaksanaan suatu tugas, kesalahan dan kekeliruan potensial dan kerusakan, yang acap timbul dari ketergesa-gesaan, bisa banyak dikurangi.
Dalam masyarakat tidak beriman, orang umumnya cenderung memonopoli satu pekerjaan untuk diri sendiri dan tidak perlu berkongsi dengan orang lain; tujuannya agar semua penghargaan dan imbalan yang diberikan oleh mereka yang menikmati hasil pekerjaan itu menumpuk pada si pemborong sendiri. Pembagian kerja dapat menghapus kerakusan semacam itu dan melenyapkan keinginan jelek untuk memborong keuntungan dari keberhasilan suatu proyek. Betapapun, suksesnya sebuah proyek tak lepas dari keikutkesertaan kebijakan, pengetahuan, dan pengalaman sejumlah orang, sehingga tak seorang peserta pun berhak menyombongkan diri sabagai orang yang paling besar andilnya. Sesungguhnya, orang-orang beriman tidaklah mencari-cari superioritas diri, sebab segala sesuatu yang mereka inginkan adalah kesenangan Allah swt. atas amal perbuatan hamba-hamba-Nya.
Pembagian kerja juga mendatangkan manfaat lain: bekerja secara kolektif untuk keperluan bersama akan mempererat persahabatan, persaudaraan, dan kesetiaan sesama peserta. Bahkan, lebih dari itu, kerja sama memungkinkan seseorang mengenal keindahan dan keahlian orang lain dan menepis nafsu serakah dari kalbu orang bersangkutan, dan akhirnya membuat dia jadi orang sederhana (moderat).
Bekerja bersama untuk mendapatkan kesenangan Allah membuat para peserta merasa saling dihargai, disenangi, dan berbakti, karena suasana yang melandasi kerja semacam itu. Tiap upaya yang mereka kedepankan untuk memenuhi tugas yang diemban mencerminkan cinta dan pengabdian kepada Allah. Menyadari kenyataan ini adalah faktor lain yang menyuburkan persaudaraan di kalangan orang-orang beriman.
Malam untuk Beristirahat, Siang untuk Bekerja
Al-Qur`an menyatakan siang hari adalah waktu untuk beraktivitas, sementara malam hari lebih baik dimanfaatkan untuk istirahat. Ayat yang berkenaan dengan hal itu adalah,
“Dialah yang menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah). Sesungguhnya, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang mendengar.” (Yunus [10]: 67)
Dengan meneliti tubuh manusia terungkaplah bahwa metabolisme tubuh sudah diatur supaya beristirahat waktu malam dan bekerja pada siang hari. Kala mentari mulai terbenam, kelenjar otak, yang berada di landasan otak, mulai membendung melatonin. Ini membuat orang jadi kurang siaga. Fungsi kerja otak menurun dan suhu badan anjlok. Semua reaksi tubuh terhadap kegelapan akhirnya merendahkan produktivitas seseorang.
Dengan munculnya waktu fajar, peringkat melatonin berkurang dan hormon-hormon diaktifkan. Sementara itu, suhu badan meningkat dan fungsi-fungsi otak mencapai tingkat maksimum. Faktor-faktor ini memberi sumbangan pada kesiagaan, perhatian, dan produktivitas seseorang. Fakta-fakta seperti ini membawa kearifan seperti yang disebutkan dalam ayat,
“Allah menjadikan malam bagi kamu supaya kamu beristirahat padanya.”
Merahasiakan Informasi Penting terhadap
Orang yang Bermaksud Jahat
Al-Qur`an menegaskan pentingnya untuk tidak menyebarkan informasi penting kepada orang-orang yang mempunyai maksud jelek, yang menyukai informasi semacam ini untuk melencengkan sesuatu yang baik dari orang-orang beriman. Oleh karena itu, bila orang seperti itu tahu bahwa sesuatu yang baik bakal terjadi pada orang yang tidak dia sukai, kecemburuan orang tadi akan menghadang informasi tersebut sampai kepada orang yang dibencinya itu dengan beragam upaya.
Al-Qur`an memberikan informasi pada kita tentang saudara-saudara lelaki Nabi Yusuf a.s., yang tergolong orang-orang buruk keinginan. Karena kecemburuan mereka pada Nabi Yusuf a.s.—ayah mereka (Nabi Ya’qub) sangat mencintai adik mereka itu—maka mereka menyimpan dendam di hati. Nabi Ya’qub a.s., yang mengetahui adanya maksud jahat yang terpendam di hati anak anaknya itu, menasihatkan Yusuf supaya tidak mengungkapkan rahasia mimpinya kepada mereka. Dia tahu mimpi itu, yang mengabarkan pada Yusuf bahwa dia hamba pilihan Allah dan dianugerahi banyak karunia, akan membuat saudara-saudaranya tambah marah. Ayat-ayat Al-Qur`an menceritakan,
“(Ingatlah) Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, ‘Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan, kulihat semuanya tunduk padaku.’ Ayahnya berkata, ‘Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)-mu. Sesungguhnya, setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. Dan demikianlah, Tuhanmu, memilihkamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebagian dari tabir mimpi mimpi dan disempurnakan-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya’qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nik-matnya kepada dua orang bapakmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishaq. Sesungguhnya, Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.’” (Yusuf [12]: 4-6)
Allah menyeru manusia merenungkan peristiwa ini, “Sesungguhnya, ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya.” (Yusuf [12]: 7) Tetap waspada kala berada di tengah-tengah mereka yang memiliki maksud buruk dan menolak informasi penting dari mereka merupakan pelajaran berguna yang bisa dipetik dari ayat-ayat ini.
Mengambil Tindakan Dini
Tindakan lain yang Allah tekankan kepada kita adalah agar kita segera bereaksi bila berhadapan dengan satu situasi yang harus ditangani. Di dalam Al-Qur`an, Allah menunjukkan kepada kita satu sikap yang dipraktikkan Nabi kita saw. sebagai contoh,
“Dan (ingatlah) ketika kamu berangkat pada pagi hari dari rumah keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Ali Imran[3]: 121)
Seperti disebutkan ayat, dalam suasana perang, Nabi Muhammad saw. meninggalkan rumah beliau pada dini hari untuk memberikan pengarahan kepada para pengikut beliau berkenaan dengan tugas-tugas mereka dan mempersiapkan mereka terhadap apa yang bakal terjadi. Selama 1400 tahun, apa yang dipraktikkan Nabi kita saw. telah membimbing dan memberi semangat kepada orang-orang beriman.
Orang yang cepat bertindak mendapatkan cukup waktu untuk mempersiapkan diri. Tambahannya, satu situasi tak terduga atau satu penundaan tidaklah mendatangkan tekanan tambahan, sebab mereka punya cukup waktu untuk menghadapi masalah masalah ini.
Berada dalam keadaan tidak tergesa-gesa dapat secara psikologis dapat meningkatkan derajat kelegaan jiwa seseorang, sedangkan keterbatasan waktu dapat membuat orang panik dan gelisah. Dua keadaan pikiran yang merintangi kemampuan orang berkonsentrasi, mengemukakan alasan, dan merancang pemecahan masalah yang tepat. Sebaliknya, waktu yang cukup memadai memungkinkan orang bekerja dengan kedamaian pikiran dan nir-tekanan, mencurahkan perhatian dan kearifan mereka pada pemecahan masalah, dan dengan begitu membuka peluang memformulasikan keputusan terbaik.
Waspada di Waktu Malam
Meskipun Allah sudah menentukan malam sebagai waktu untuk ketenangan, Al-Qur`an menyeru kita supaya waspada melalui ayat berikut,
“Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Tuhan yang Menguasai subuh, dari kejahatan makhluknya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap-gulita.’” (al-Falaq [113]: 1-3)
Malam, khususnya saat gelap gulita, membatasi kemampuan keandalan tertentu manusia dan menjadikannya jauh lebih sulit mengambil tindakan-tindakan pengamanan diri. Pada waktu malam, akan lebih sulit mempradugakan bahaya, yang artinya: bahwa tingkat kepedulian seseorang tambah menurun. Faktor utama di belakang meningkatnya taraf risiko adalah keinginan orang-orang tidak beriman untuk terlibat dalam tindak kejahatan di bawah selubung kegelapan, yang melindungi mereka dari pandangan orang lain. Angka statistik kejahatan pembunuhan, pencurian, dan banyak lagi kegiatan kegiatan tidak legal dan berbahaya mengungkapkan bahwa perbuatan perbuatan durjana mereka itu cenderung lebih tinggi volumenya mulai tengah malam hingga waktu fajar.
Al-Qur`an juga menyatakan bahwa orang-orang tak beriman cenderung menyakiti/mengganggu orang beriman di malam hari. Seperti dapat kita baca,
“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (an-Nisaa` [4]: 108)
Dalam ayat lain, Allah memberi tahu kita tentang satu makar jahat terhadap Nabi Salih a.s. oleh orang-orang tidak beriman yang memendam kebencian mendalam terhadap beliau, dan mengingatkan kita supaya berhati-hati terhadap rencana rencana jahat semacam itu,
“Mereka berkata, ‘Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bahwa kita sungguh-sungguh akan menyerangnya dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari, kemudian kita katakan kepada wazirnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar.” (an-Naml [27]: 49)
Orang-orang beriman adalah mereka yang mengambil peringatan-peringatan Allah dengan penuh keyakinan, dan dengan begitu mengenggam erat pandangan rasional atas semua peristiwa, menerapkan segala jenis kewaspadaan guna melindungi keselamatan mereka di malam hari. Khususnya kala bepergian, bekerja, atau bahkan waktu tidur, mereka tetap awas terhadap kemungkinan datangnya bahaya. Tapi, orang harus ingat bahwa semua perhatian ke arah itu tidak setara dengan kejahatan, karena itu manusia beriman di samping melengkapi persyaratan kewaspadaan yang diperlukan; lalu memasrahkan diri mereka pada ketentuan Allah.
Tidak Bertindak Sendirian
Dari catatan Al-Qur`an tentang para nabi terdahulu, yang melanjutkan pengabdian sebagai panutan untuk semua orang beriman karena kepatuhan mereka pada berbagai perintah dan larangan Allah, kita mengetahui bahwa setiap Nabi ditemani seorang pendamping, khususnya waktu menjalankan satu misi penting. Sebuah contoh tipikal adalah Nabi Musa a.s. yang didampingi saudaranya sendiri, Harun a.s.. Sebelum menemui Fir’aun, yang sangat membenci dirinya, Nabi Musa a.s. bermunajat kepada Allah agar memperkenankan Harun a.s. menemani beliau sebagai teman pendamping,
“Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripada aku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku.” (al-Qashash [28]: 34)
Di samping itu, kehadiran pendamping dapat mengurangi nyali dan kegetolan mereka yang punya maksud maksud jahat. Sedangkan kesendirian lebih mendorong mereka untuk melampiaskan niat buruk mereka.
Perjalanan Nabi Musa a.s. dan seorang muridnya adalah satu contoh lain,
“Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada muridnya, ‘Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan bertahun-tahun.’ Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.” (al-Kahfi [18]: 60-61)
Sebagaimana disebut pada ayat berikutnya, Nabi Musa mendapat keuntungan dari teman dalam perjalanan panjang itu. Praktik seperti ini, sebetulnya, merupakan satu bentuk kewaspadaan yang bijaksana. Karena berjalan sendirian ke tempat jauh dengan orang yang tidak mengenal kondisi dan situasi wilayah bisa jadi petualangan meragukan, kalau bukan lebih jelek taruhannya. Dalam hal ini, panduan dan dukungan orang lain, dalam artian material dan spiritual, merupakan pertolongan besar bila seseorang harus mengatasi kesulitan kesulitan yang sangat mungkin ditemui selama dan sesudah perjalanan.
Al-Qur`an membeberkan perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Mekah ke Madinah sebagai contoh lain,
“Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, ‘janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah [9]: 40)
Mereka yang memusuhi Nabi saw. ingin menangkap dan membunuh beliau, dengan demikian akan melenyapkan pengaruhnya atas para pengikut beliau. Kalaulah Nabi saw. seorang diri, di bawah tekanan risiko dan berbahaya itu, tak diragukan lagi, kaum penyembah berhala pasti memanfaatkan kesempatan mewujudkan ambisi-ambisi jahat mereka. Itu sebabnya Nabi kita saw. selalu ditemani oleh setidak-tidaknya satu orang beriman. Praktik inilah yang terus-menerus membimbing kaum muslimin hingga hari ini.
Hidup di Tempat-Tempat Aman
Kondisi-kondisi di sekeliling para Nabi dan pengikut-pengikut mereka dalam kurun perjuangan mereka menghadapi kepungan kaum musyrikin dan jahiliah telah mengharuskan para utusan Allah itu untuk meningkatkan kewaspadaan. Tekad kuat untuk hidup sesuai dengan kaidah prinsip Islam seraya menyebarkan pesan Allah, betapapun, telah direspons dengan sikap permusuhan dan kekerasan oleh puak-puak masyarakat sekitar. Dalam banyak kasus, sikap memusuhi itu bahkan menjurus ke upaya-upaya membunuh sejumlah nabi.
Kaum beriman berkeyakinan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah. Kalau mereka diserang, mereka yakin ada hikmah yang terselip di dalamnya, sebab Al-Qur`an menegaskan adanya kebaikan pada tiap peristiwa. Maka orang beriman yang tidak takut pada siapa atau apa pun selain dari Allah, menempuh cara cara rasionil dan meningkatkan kewaspadaan untuk menggagalkan rencana makar terhadap mereka.
Salah satu wujud kewaspadaan itu adalah membangun perbentengan kokoh dan aman di sekeliling tempat tinggal dan kota mereka. Al-Qur`an menginformasikan kepada kita tentang dua orang yang beperkara yang datang kepada Nabi Dawud a.s..
“Dan adakah sampai kepadamu berita tentang orang-orang beperkara ketika memanjat pagar?” (Shaad [38]: 21)
Ayat ini, yang berhubungan dengan upaya mereka untuk menemui Nabi Dawud, juga memberi gambaran kepada kita tentang tempat tinggalnya. Mungkin itu satu tempat berteduh yang aman dikelilingi tembok tinggi dan tak mudah diserang.
Wujud kewaspadaan lain yang disebut dalam Al-Qur`an adalah memelihara anjing di pintu-pintu masuk dan meningkatkan keamanan. Seperti dapat kita baca,
“Dan kamu mungkin mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah hati kamu akan dipenuhi ketakutan terhadap mereka.” (al-Kahfi [18]: 18)
Pemuda-pemuda ini, yang disebut Al-Qur`an sebagai “As-habul Kahfi”, berlindung di dalam sebuah gua dari penguasa tirani di masa itu, yang sangat membenci agama. Seperti sejumlah ayat memberitakan pada kita, Allah menghendaki mereka tetap dalam keadaan tidur untuk waktu bilangan tahun. Dari ayat-ayat tersebut, kita mengetahui bahwa selama bilangan tahun itu mereka menempatkan seekor anjing di pintu gua untuk menjaga keamanan mereka.
Menghasilkan Solusi yang Tangguh dan Bertahan Lama
“Mereka berkata, ‘Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya’juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?’ Dzulqarnain berkata, ‘Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan(manusia dan alat-alat) agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan potongan besi. Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua puncak gunung itu, berkatalah Dzulqarnain, ‘Tiuplah (api itu).’ Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, dia pun berkata, ”Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu.’ Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa melubanginya.” (al-Kahfi [18]: 94-97)
Pelajaran yang dapat diambil dari sini sudah dijelaskan sendiri oleh ayat yang kita baca: Tinimbang bergantung pada pengamanan lemah dan tidak tangguh, Dzulqarnain memilih teknologi canggih di masanya, mulai dari bahan hingga pada metode konstruksi, untuk membangun perbatasan yang tak tertembuskan, agar keamanan masyarakat di sana dapat dipulihkan. Sebagai kewaspadaan kedua, dia tuangkan cairan tembaga mendidih ke atas pagar besi itu.
Inilah tingkat kewaspadaan yang disediakan Al-Qur`an untuk orang-orang beriman. Sejalan dengan rekomendasi-rekomendasi tersebut, setiap keadaan yang tidak disukai atau tidak menguntungkan, kecil ataupun besar, harus dihindarkan sesuai dengan kemampuan orang-orang beriman merancang pembangunan proyek-proyek yang kokoh, tangguh, dan tak tertembuskan oleh sembarang serangan.
Menolak Memberikan Informasi kepada Orang yang Bermaksud Jahat Akan Mengungkap Kelemahan Mereka
Mereka yang memendam benci dan cemburu terhadap orangorang beriman, siap menggunakan setiap peluang untuk memuaskan perasaan-perasaan itu. Oleh sebab itu, insan beriman jangan sekali-kali memberi kesempatan apa pun kepada mereka untuk merancang serangan terselubung.
Allah minta perhatian kita pada masalah ini dengan mengkaitkannya pada kisah Nabi Yusuf a.s.. Saudara-saudara beliau yang seayah berkomplot untuk membunuhnya karena dengki dan cemburu, sebab ayah mereka yang sangat menyayangi Yusuf. Menurut perkiraan mereka, bila Yusuf sudah tiada, kasih sayang ayah akan beralih pada mereka. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka merancang siasat busuk seperti tersebut dalam surah Yusuf, sebagai berikut.
“Mereka berkata, ‘Wahai ayah kami, apa sebabnya engkau tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya. Biarkanlah dia pergi bersama kami besok pagi, agar dia (dapat) bersenang-senang dan (dapat) bermain-main, dan sesungguhnya kami pasti menjaganya.’ Ya’qub berkata, ‘Sesungguhnya, kepergian kamu bersama Yusuf amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kamu lengah darinya.’” (Yusuf [12]: 11-13)
Sebagaimana kita pahami dari ayat-ayat ini, Nabi Ya’qub a.s. tahu bagaimana perasaan putra-putra beliau terhadap Yusuf a.s. dan tidak menyetujui saran mereka. Dia merasa khawatir kalau-kalau serigala menyerangnya selagi mereka asyik bermain. Saudara-saudaranya, yang akhirnya membawa Yusuf bersama mereka, memasukkan dia ke dalam sebuah sumur, lalu membawa pulang baju yang dilumuri darah palsu untuk diperlihatkan kepada ayah mereka, seraya berkata,
“’... Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba- lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala; dan engkau sekali-kali tidak akan percaya pada kami, meskipun kami adalah orang-orang yang benar.’ Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu….” (Yusuf [12]: 17-18)
Seperti perkabaran ayat-ayat ini, saudara-saudara Nabi Yusuf berusaha membenarkan pengkhianatan mereka dengan memanfaatkan keprihatinan Nabi Ya’qub yang telah beliau ucapkan sebelumnya. Yang dapat kita pahami dari ayat-ayat terkait bahwa kita tidak seharusnya mengikuti kehendak buruk semacam itu dan tipu daya orang-orang pembuat kerusakan yang telah membuka aib mereka sendiri.
Mempertimbangkan Segala Alternatif Seraya Terus Waspada
Acuh tak acuh merupakan predikat unik bagi manusia yang bersikap masa bodoh. Sesungguhnya, dalam kelompok-kelompok masyarakat masa bodoh banyak masalah yang tidak ter-selesaikan, karena manusia-manusianya cenderung tidak peduli. Itu sebabnya orang-orang yang hidup dalam masyarakat masa bodoh selalu menanggung derita sebagai konsekuensi keteledoran dan sikap tidak peduli.
Dalam Al-Qur`an, Allah menegaskan kekeliruan sikap ini dan mendorong orang-orang beriman supaya peduli dengan saksama dalam mengambil beragam tindakan.
Dari ayat berikut, kita pahami bahwa cermat mempertimbangkan segala alternatif merupakan sifat perilaku yang paling tepat,
“Dan Ya’qub berkata, ‘Hai anak-anakku janganlah kamu masuk dari satu pintu gerbang, masuklah dari pintu pintu gerbang berbeda; namun, aku tiada dapat melepaskan kalian barang sedikitpun dari (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nyalah aku bertawakal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakal berserah diri.’” (Yusuf [12]: 67)
Nabi Ya’qub a.s. menasihatkan putra-putra beliau, waktu mereka hendak pergi ke Mesir, agar memasuki kota melalui sejumlah pintu gerbang. Hal ini benar-benar merupakan satu tindakan bijaksana, karena hal itu menjamin keselamatan jiwa dan harta. Kalaulah mereka masuk lewat satu pintu saja, besar kemungkinan mereka dihadang bahaya. Dengan mengaplikasikan ketinggian ilmu seseorang, yang Allah anugerahkan kepada kemanusiaan agar mereka bisa mempertimbangkan metode terbaik mana hendak dipakai, adalah suatu kebijaksanaan yang terselubung di bawah nasihat ini. Inilah satu sikap bijaksana sesuai dengan ajaran Al-Qur`an. Lebih jauh, peluang seperti ini dengan jelas mengungkap perbedaan antara kebijaksanaan orang beriman dengan keteledoran orang tidak berakal.
Ingatlah, semua tindakan menuju perolehan hasil yang bertahan lama merupakan satu bentuk dari do’a. Sesungguhnya, tak ada rencana atau tindakan, betapapun canggihnya, yang dapat mencegah apa yang sudah Allah takdirkan. Fakta penting ini ada kaitannya dengan nasihat Nabi Ya’qub a.s. kepada putra-putra beliau,