RSS

Memahami Konstruksi Tafsir Klasik

Historiografi Tafsir al-Qur`an

Rasulullah e sebagai penerima wahyu sekaligus penjelas (tabyin) dari al-Qur`an serta pengemban tugas kerasulan sangat faham betul akan maksud dan kandungan dari ayat-ayat al-Qur`an. Tak mengherankan bila Beliau disebut sebagai "tafsir hidup" (The life interpreter) dan mufassir al-awwal (The first interpreter) sekaligus pemegang otoritas penuh dalam menafsiri ayat al-Qur`an, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qur`an sendiri dalam QS al-Ibrahim : 4.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

"Kami tidak mengutus seorang Rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya

supaya dia dapat menjelaskan kepada mereka. (QS. Al-Ibrahim: 4)

Dan Allah I menguatkannya dalam QS. al-Qiyamah : 17-19

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْءَانَهُ، فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْءَانَهُ، ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ

"Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaaannya. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya. (QS. Al-Qiyamah: 17-19)

Para sahabat Nabi e juga langsung dapat memahami makna yang tersirat dari setiap ayat-ayat al-Qur`an yang turun walaupun mereka tidak memahaminya secara mendetail. Namun demikian pemahaman tiap Sahabat berbeda-beda, seperti ucapan Ibn 'Abbas Ra

كُلُّ قُرْآنٍ أَعْلَمُهُ إِلاَّ أَرْبَعًا غِسْلِيْنَ وَحَنَانًا وَأَواهُ وَالرَّقِيْمِ

Dan sebuah riwayat dari Ibnu 'Abbas Ra

كُنت لاَ أَدرِي مَافَاطِر السَمَوَات حَتىَ آتَانيِ أعرَابيَانِ يتخصِمَانِ فىِ بِئر فقَال أَحَدهمَا أنَا فطَرتُها يقُولُ أنَا ابتدأتُهَا.

Metodologi Tafsir Al-Qur`An Para Sahabat Berpedoman Pada Tiga Hal :

Dengan telaah al-Qur`an, tiap kali menemukan ayat yang masih global, maka para sahabat mencairkannya dengan ayat lain yang memerinci dan menjelaskannya. Begitu pula di saat ditemukan ayat yang masih mutlak atau umum, maka akan dijernihkan dengan ayat lain yang meng-qayyidi dan mengkhususkannya. Praktik pentafsiran semacam ini dikenal dengan menafsiri al-Qur`an dengan al-Qur`an (Tafsirul Qur`an bi al-Qur`an). Seperti firman Allah I QS. al-Maidah : 1 :

أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ

"Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu".

Ditafsiri dengan QS. al-Maidah : 3 :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ

وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ

"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala"

Dengan merujuk kepada Nabi e, di saat para sahabat menemukan kesulitan di dalam memahami suatu ayat, maka para sahabat segera merujuk langsung kepada Sang pembawa risalah. Seperti yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Mas'ud Ra, ketika turun ayat ke 82 QS. Al-An'âm :

"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. "

Saat itu para shahabat merasakan beratnya menahan zalim pada diri mereka sendiri. Setelah mereka meminta klarifikasi Nabi dijelaskan maksud zalim dalam ayat tersebut adalah syirik (menyekutukan Allah I)

Di dalam al-Qur`an sendiri ada beberapa ayat yang tidak dapat diketahui ta`wil-nya terkecuali setelah mendapatkan petunjuk langsung dari Beliau Nabi e, seperti perincian terhadap beberapa aspek dari perintah dan larangan, batasan dari apa yang diwajibkan Alloh dari beberapa hukum. Hal ini sebagaimana sabda Beliau dalam HR. Abu Dawud:

أَلاَ وَإنيِّ أوتيْتُ الكِتَابَ ومثلَهُ مَعَهُ

"Ingatlah sesungguhnya aku telah diberikan al-Kitab dan sejenisnya (ta'wil) bersamanya"

Dengan pemahaman dan ijtihad, para sahabat di saat dihadapkan terhadap suatu ayat yang tidak ada referensi tafsir dari al-Qur`an dan al-hadist, maka mereka akan berusaha mencurahkan segala kemampuannya untuk menggali dan memahami akan tafsir dari ayat tersebut. Mereka yang memang orang Arab tulen dan dekat dengan Nabi e tentunya memiliki kwalitas kefahaman bahasa arab yang mumpuni ditambah kedekatannya dan persaksiannya terhadap turunnya ayat al-Qur`an tentunya tidak terlalu sulit untuk menguak makna yang tersembunyi dibalik sebuah teks. Dikenalah kemudian dari golongan para sahabat Nabi yang kemudian hari menelurkan para gembong-gembong tafsir, diantaranya adalah keempat Khulafaur Rosyidin, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka'ab dan lain-lain Rodhiyallohu 'Anhum.

Mengenai nilai hasil ijtihad para sahabat ini para ulama' menyetarakannya dengan hadist marfu' bila dikaitkan atas asbabun nuzul dan tidak adanya peluang ro`yu (logika). Namun bila peluang ro`yu masih terbuka, maka nilai hasil ijtihad tersebut setara dengan hadist mauquf selama tidak disandarkan atas Beliau Nabi e. Sedangkan mauquf atas sahabat menurut sebagian ulama` tetap wajib untuk diakui keabsahannya.

Semakin meluasnya kekuasaan islam (futuhat al-islamiyyah) yang berdampak menyebarnya para sahabat ke daerah yang dikuasai oleh islam. Di daerah yang didudukinya para sahabat tesebut mendirikan madrasah sebagai sarana penyebaran ajaran islam atas dasar keilmuan dan kefahaman yang dimiliki oleh para sahabat itu masing-masing.

Nyatalah di Makkah madrasah yang didirikan oleh Ibnu 'Abbas Ra. di Madinah Ubay bin Ka'ab Ra. di Iraq Ibnu Mas'ud yang masyhur sebagai madrasah ahli ra`yi.

Dalam generasi selanjutnya, yaitu era tabi`n ketiga metodologi penafsiran di atas tetap terpelihara, hal ini disebabkan tak lain karena mereka adalah murid dari para sahabat itu sendiri. Namun karena semakin banyaknya kejadian dan kasus yang terjadi yang tidak didapat pada era para sahabat, terbukalah peluang bagi generasi ini untuk melakukan ijtihad dalam mentafsiri ayat al-Qur`an yang belum tersentuh oleh generasi sebelumnya.

Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum hasil pentafsiran murni para tabi`n ini. Menurut segolongan ulama` hasil penafsiran ini tidak dapat dipakai, disebabkan mereka tidak secara langsung menyaksikan kronologis turunnya al-Qur`an sehingga masih sangat mungkin terjadi kesalahan dalam memahami suatu teks al-Qur`an. Mayoritas ulama` ahli tafsir berpendapat bahwa hasil pentafsiran tabi`n dapat dipakai, sebab mereka pada umumnya mendapatkan kefahaman akan kandungan suatu teks secara langsung dari generasi sebelumnya. Dan di era pasca tabi'in, khususnya pada masa keemasan peradaban Islam serta semakin majunya ilmu pengetahuan, muncullah corak penafsiran dengan memberikan porsi cukup besar terhadap peranan akal dalam menginterpretasikan ayat al-qur'an. Type penafsiran semacam inilah yang kemudian dikenal dengan istilah tafsir bir- ra'yi. Dari uraian ini secara umum dapat disimpulkan, terdapat dua corak penafsiran islam klasik, yaitu tafsir bil-ma'tsur dan tafsir bir- ra'yi.

Tafsir Ma'tsur adalah tipe tafsir dengan mengadopsi ayat-ayat Al-qur'an, hadits, riwayat sahabat dan tabi'in sebagai sumber acuannya. Dan Tafsir Bir Ra'yi, adalah penafsiran al-Qur'an dengan menggunakan akal (ijtihad) sebagai alat pokoknya

Spektrum Tafsir Bi Ar-Ra'yi

Sejak awal digagas, legalitas tafsir bi ar-Rayi telah menjadi bahan perdebatan dari berbagai kalangan.

Argumentasi kelompok penentang :

Penafsiran melalui perangkat ra'yu tidak akan membuahkan interpretasi maksimal (al-mutayaqqan ishabatuh), maksimal hanya sampai taraf akurasi kesimpulan-kesimpulan yang tidak lebih dari sekadar persangkaan tanpa dasar ilmu yang jelas dan tegas, di mana hal ini dilarang oleh Allah I. Dalam firman-Nya :

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ

وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

"Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".

Penafsiran al-Qur'an sudah diturunkan oleh Allah I. Dalam al-Qur'an sendiri atau lewat hadits-hadits Nabi e sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

"Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan"

Di samping itu, penafsiran dengan ra'yu juga dilarang, sabda Nabi e dalam HR. Turmudzi.

وَمَنْ قَالَ فيِ القُرآنِ برَأيِه فليَتَبَوّأ مَقعَدَه منَ النَّار

"Dan barangsiapa berbicara tentang al-Qur'an dengan akalnya,

maka pergi dan bersemayamlah mereka di neraka"

Adanya riwayat dari para sahabat dan tabi'in yang bersikap membatasi diri dalam menafsirkan al-Qur'an dengan logikanya, karena khawatir akan mengantarkan pada penafsiran yang tidak dikehandaki Allah I.

Argumentasi Penggagas tafsir bi ar-Ra'yu :

Mereka menyampaikan penalaran bahwa dalam al-Quran banyak didapati penjelasan tentang himbauan untuk melakukan perenungan-perenungan terhadap ayat-ayatNya.

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ . (ص: 29)

"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. "

Rasulullah penah mendoakan kepada Ibnu Abbas untuk menguasai dan handal akan ilmu agama dan ta'wil. Seperti sabda beliau

الَّلهُمَّ فَقِّهْهُ فى الدِّينِ وعَلِّمهُ التَأوِيْلَ

"Ya Allah, pahamkanlah ia dengan ilmu agama, dan ajarkanlah ia tentang ilmu ta'wil (ijtihad)"

Do`a ini memberikan indikasi kuat bahwa para sahabat sendiri telah melakukan penafsiran terhadap al-Quran dan melibatkan diri dalam memberikan penjelasan tentang ayat-ayat yang mujmal yang tidak ada sumber nash dari Rasul. Seandainya peran ta`wil hanya terbatas pada periwayatan, niscaya do`a tersebut akan kehilangan eksistensi maknanya.

Telah dimaklumi bahwa beliau Nabi tidaklah menjelaskan tafsir dari setiap ayat perayat, larangan penafsiran dengan ra`yi justru akan memberikan implikasi pada vakumnya hukum-hukum Allah I. yang tidak sedikit yang belum tersingkap.

Dari perdebatan di atas, menurut az-Zarqani sebenarnya kedua kelompok yang saling berseberangan tersebut telah mengambil satu kata sepakat bahwa larangan terhadap tafsir bir- ra'yi yang dimaksud adalah pemahaman al-qur'an yang hanya semata-mata didasarkan pada akal murni tanpa melihat pada al-qur'an, hadits dan aspek-aspek lain termasuk di dalamnya bahasa arab, syair jahiliyah, asbab an-nuzul, nasikh mansukh dll.

Sumber Penafsiran Tafsir Bir-Ra'yi

Riwayat-riwayat shahih yang dikutip dari Nabi e. Dengan tetap mengedepankan sikap selektif terhadap hadits-hadits yang lemah dan palsu. Jika terdapat suatu riwayat yang shohih, maka tidak diperbolehkan menafsirkan dengan metode ra'yu

Mengambil pendapat sahabat. Sebab ijtihad penafsiran yang dilakukan para sahabat setingkat dengan hadist marfu' .

Makna asli dari bahasa arab, mengingat al-quran diturunkan dengan bahasa arab dengan catatan mufassir harus tetap memperhatikan makna mayoritas yang terlaku dikalangan bangsa arab.

Tuntutan Kandungan makna dari susunan kalimat sesuai dengan prinsip-prinsip syariat

Hal-Hal Yang Harus Dihindari Oleh Seorang Mufassir Bi ar-Ra'yi

Seorang mufassir agar dalam menafsirkan ayat-ayat al-qur'an tidak sampai tergelincir dalam jurang kesesatan sehingga akan masuk dalam kategori tarsir bir-ra'yi yang tertolak maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai berikut :

Mengemukakan maksud dari firman Allah I tanpa di bekali pengetahuan kaidah-kaidah bahasa serta ilmu syariat secara lengkap dan memadai.

Mengarahkan kandungan makna al-qur'an berdasarkan madzhab yang rusak dan sesat.

Menetapkan dengan tegas bahwa maksud Allah I. demikian tanpa ada tendensi dalilnya.

Menafsirkan al-qur'an hanya untuk menuruti hawa nafsu atau sangkaan-sangkaan yang di anggap benar.

Mengingat adanya hal-hal yang mutlak harus diketahui oleh mufassir terutama mengenai batas-batas wilayah yang bisa dirambah oleh mufassir, kandungan makna atau ilmu al-qur'an dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Makna yang mutlak hanya diketahuai oleh Allah I. Yang berkaitan dengan hal-hal yang berada di luar wilayah jangkauan nalar manusia, seperti hari kiamat, ruh, ayat mutasyabihat dan lain-lain. Pada tataran ini ijtihad sama sekali tidak mendapatkan celah masuk, Kewenangan dan otoritas penafsiran mutlak hanya milik Allah I dan Rasulnya yang telah mendapat legalitas-Nya.

Ilmu yang khusus diberikan Allah I kepada Nabi e, seperti pengetahuan tentang makna-makna ayat dipermulaan surat. Hal inipun juga tidak boleh ditafsirkan oleh siapapun kecuali rosul sendiri yang menjelaskannya.

Ilmu yang diajarkan Allah I pada rasulnya untuk disampaikan pada umat. Macam ini dibedakan dalam dua bagian yaitu :

Bagian yang tidak boleh ditafsirkan kecuali hanya melalui periwayatan dari Nabi e. Seperti nasih-mansukh, cerita umat terdahulu, asbab an-nuzul dan lain-lain.

Bagian yang bisa diketahui melalui perenungan akal baik yang berkaitan dengan ayat-ayat mutasabihat atau berkenaan dengan hukum. Nasihat dan perumpamaan-perumpamaan.

Metodologi Tafsir Bi Ar-Ra'yi

Sebelum seorang mufassir terjun dalam menafsiri al-Qur`an bi ar-ra`yi ia harus mengetahui dahulu tahapan yang harus ditempuh dalam menafsilan al-Qur`an birro`yi supaya hasil pentafsirannya – kalau tidak dikatakan melenceng dari ketentuan syari'at- paling tidak mendekati kebenaran. Maka sebelumnya ia harus menelaah terlebih dahulu makna al-Qur`an dari al-Qur`an itu sendiri dan bila tidak diketemukan, maka beralih pada ­as-sunnah dan atsarusshohabah sebagai tahapan berikutnya. Dalam hal tidak adanya tiga sumber penafsiran di atas, barulah bagi mufassir boleh menafsirkan al-Qur`an birro`yi, dengan berpedoman pada kaidah-kaidah sebagaimana berikut :

Memulai dengan mencari makna yang terkait dengan kosa kata kalimat baik dari sudut bahasa, ilmu shorof, asal kata dengan tetap memperhatikan makna yang berlaku tatkala diturunkannya ayat al-Qur`an tersebut.

Mengikuti alur pembicaraan sesuai dengan susunan kalimat dari sisi I'rab dan balaghah.

Mendahulukan makna hakiki dari makna majazinya.

Memperhatikan sebab-sebab diturunkannya suatu ayat (asbabunnuzul).

Memperhatikan korelasi antara ayat pertama dan setelahnya.

Memperhatikan tujuan dasar dari runtutan suatu ayat.

Tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sejarah manusia secara umum ataupun khusus dikomunitas bangsa arab.

Dalam menjelaskan makna dan istimbat hukum tetap berjalan di atas prinsip-prinsip kaidah bahasa, syari'at dan ilmu pengetahuan

Mengikuti atauran-aturan tarjih tatkala menemukan beberapa keberagaman makna.

Koridor Penafsiran Klasik

Seperti yang telah dimaklumi, semenjak wafatnya beliau Nabi e para sahabat dan generasi-generasi berikutnya sangat tertuntut untuk dapat mengapresiasikan dan membiaskan pesan-pesan subtansial alqur'an untuk kemaslahatan kehidupan umat yang serba majmuk dengan mengambil al-qur'an dan hadist sebagai sumber rujukan utamanya. Namun dengan semakin kompleknya kasus-kasus baru dan maksud-maksud al-qur'an yang belum pernah dijelaskan oleh nabi, pada giliran berikutnya mereka melakukan pendekatan dalam memahami al-qur'an melalui kemampuan ijtihad masing-masing. Secara garis besar terdapat dua pola pendekatan yang mereka upayakan, yaitu, tafsir dan ta'wil

Tafsir dari sudut etimologi adalah penyingkapan, penjelasan atau presentasi. Secara terminologinya adalah upaya menguak pesan subtansial, posisi/kedudukan serta nilai-nilai historis yang tersembunyi di balik teks.

Ta'wil adalah pengalihan arti leksikal kata pada kemungkinan makna lain yang masih dalam batas-batas al-qur'an dan sunnah

Perangkat Keilmuan Yang Harus Dimiliki Mufassir

Para ulama' telah memberikan syarat-syarat tertentu bagi orang yang akan menafsirkan al-qur'an dengan Ra'yi agar hasil ijtihad penafsirannya dapat diterima dan dipakai. Adapun syarat-syarat tersebut sebanyak 15 persyaratan, yaitu :

Ilmu bahasa, dengan ilmu ini dapat memungkinkan untuk mengetahui pengertian kosa kata kalimat sesuai dengan arti kata dasarnya.

Ilmu Nahwu (tata bahasa arab), Karena dengan ilmu ini dapat diketahui perubahan-perubahan makna sebab perubahan I'rab

Ilmu shorof, yang dengannya dapat diketahui bina', shighat dari suatu lafadz, sebab dengan perbedaan keduanya akan berpengaruh pada arti yang dikandungnya

Ilmu asal-usul kata, suatu kata benda yang berasal dari dua akar kata yang berbeda, maka artinyapun akan berbeda. Seperti al-masih yang bisa berasal dari akar kata as-siyahah atau al-mashu .

Ilmu Ma'ani, adalah ilmu yang memiliki fungsi untuk mengetahui kalimat dari sudut faidah maknanya.

Ilmu Bayan, adalah ilmu untuk mengetahui kalimat dari segi jelas atau kesamaran penunjukan jkandungan artinya.

Ilmu Badi' , adalah ilmu untuk mengetahui bentuk keindahan kalimat

Ilmu Qiro`ah, dengan ilmu ini dapat diketahui bentuk pengertian yang lebih benar

Ushul Fiqh, ilmu ini sebagi perangkat untuk mengetahui cara-cara pengambilan hukum

Ushul ad-dîn, dengan ilmu ini mufassir akan mampu menunjukkan dalil-dalil dari sifat-sifat Allah I.

Asbâb an-Nuzûl :

Al-Ja’bari, sebagaimana dikutip oleh Al-Suyûthi menyatakan bahwa penurunan wahyu adakalanya tanpa dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa, adakalanya pula dilatarbelakagi oleh timbulnya suatu peristiwa atau pertanyaan yang diajukan oleh shahabat. Dalam kaitannya dengan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an, pengetahuan akan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya wahyu (asbâb al-nuzûl) memegang peranan penting. Beberapa ayat tidak dapat dipahami maksud sebenarnya tanpa mengetahui asbâb al-nuzûlnya.

Al-Zarqânî memberikan pendefinisian asbâb al-nuzûl sebagai hal-hal yang diungkapkan atau dijelaskan hukumnya oleh suatu ayat atau beberapa ayat pada saat ayat tersebut diturunkan. Maksudnya adalah bahwa asbâb al-nuzûl merupakan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah atau merupakan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari kalangan shahabat dan menjadi perhatian khusus Rasulullah.

Dengan mengetahui asbâb al-nuzûl ada beberapa manfaat yang didapatkan. Secara terperinci Al-Suyûthî dan az-Zarqânî menuturkan dalam karyanya masing-masing. Pertama, mengetahui hikmah pensyari’atan suatu hukum. Kedua, membantu pemahaman makna suatu ayat serta menjelaskan isykâl (kejanggalan atau kesulitan makna)nya. Sebagaimana ayat:

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأََيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ الله

"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke manapun kamu menghadap, maka di situlah wajah Allah". (QS: Al-Baqarah 115)

Ayat di atas menegaskan bahwa seseorang tidak wajib menghadap kiblat ketika melakukan shalat, dalam perjalanan maupun tidak. Namun hal ini menyalahi ijma’ . Dengan mengetahui sebab turunnya ayat akan diketahui bahwa ayat tersebut hanya tertentu pada shalat sunnat dalam perjalanan. Atau dalam kasus seseorang yang buta arah sehingga ia menentukan arah kiblat dengan ijtihad (upaya dan kemantapan hati)nya sendiri, dan ternyata pilihannya salah. Maka ia tidak wajib meng-qadlâ’.

Ketiga, menepis persangkaan hashr (ketertentuan pada suatu hal semata). Sebagaimana firman Allah I:

قُلْ لاَ أَجِدُ فِيْمَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاِعمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوْحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ

"Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah”. (QS: Al-An’am 145)

Al-Syâfi‘î mengatakan bahwa ketika orang-orang kafir menganggap haram apa yang dihalalkan Allah I, menganggap halal apa yang diharamkan Allah I, dan selalu berseberangan dan bertentangan dengan syari’at-Nya, maka turunlah ayat ini dengan tujuan menentang kehendak mereka. Seakan-akan Allah I berfirman : “Tidak ada keharaman kecuali apa yang kalian halalkan, yakni bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan makanan yang dibuat persembahan kepada selain Allah”. Dengan ayat ini tidaklah dimaksudkan kehalalan dari selain hal-hal yang dituturkan. Karena tujuan ayat ini hanya menetapkan keharaman, bukan menetapkan kehalalan.

Keempat, mentakhshîsh hukum dengan asbâb al-nuzûl ayat, menurut orang-orang yang memiliki pandangan bahwa yang dijadikan standar hukum adalah khushûs al-sabab (spesifikasi latar belakang turunnya ayat), bukan ‘umûm al-lafzh (keumuman cakupan teks ayat). Kelima, Mengetahui bahwa sebab turunnya ayat tidak keluar dari cakupan keumuman hukumnya walaupun ada keterangan yang mentakhshîsh keumuman ayat. Sehingga tatkala sebab turunnya ayat diketahui, maka takhshîsh hanya berlaku pada selain kasus yang melatarbelakangi turunnya ayat. Karena tercakupnya kasus ketika ayat turun dalam keumuman redaksi lafazh merupakan sesuatu yang qath’i (pasti), dan mengeluarkannya dari cakupan keumuman berdasarkan ijtihad adalah tidak diperbolehkan. Keenam, mengetahui perihal apa dan tentang siapa ayat diturunkan. Ketujuh, secara psikologis, dapat me-mudahkan penghafalan dan menancapkan kefahaman bagi orang yang mendengarkan ayat sekaligus mengetahui latar belakang turunnya. Karena sabab dan hukum terkait dengan peristiwa yang melatarbelakanginya. Sedangkan suatu peristiwa terkait dengan tokoh pelaku, dimensi ruang dan waktunya. Hal-hal inilah yang menjadi faktor kuatnya ingatan, serta kemudahan mengingatnya saat mengingat kaitan peristiwanya.

Selanjutnya dalam kaitannya dengan asbâb al-nuzûl, ulama’ ushul fiqh berbeda pandangan mengenai apakah yang dijadikan patokan adalah ‘umûm al-lafzh (keumuman cakupan teks ayat) atau khushûs al-sabab (spesifikasi latar belakang turunnya ayat) ? Kalangan al-Syafi’iyyah memilih pendapat pertama. Mereka berpijak pada sikap para shahabat dan lainnya dalam keumuman redaksi ayat yang turun karena sebab tertentu. Sebagaimana ayat zhihâr yang dilatarbelakangi oleh kasus yang dialami Salmah bin Shakhr, ayat li‘ân yang turun dengan tokoh peristiwa Hilâl bin Umayyah, dan ayat yang menjelaskan sanksi qadzf pada orang-orang yang menuduh Umm al-mu’minin ‘Aisyah ra. Dampak hukum ayat-ayat ini melebar cakupannya pada selain tokoh-tokoh peristiwa turunnya ayat-ayat di atas.

Dalam catatan pinggir Al-Luma‘ dipaparkan bahwa argumentasi yang melandasi pendapat ini adalah sebuah hadits yang mengisahkan bahwa Rasulullah menerapkan suatu ayat sebagai hujjah dalam keumuman redaksinya, kendati ayat tersebut diturunkan dengan sebab dan tujuan tertentu. Ayat tersebut adalah firman Allah I dalam surat Al-Anfal 24:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُوْلِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيْكُمْ (الأنفال 24)

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu. (QS: Al-Anfal 24)

“Ajakan pada sesuatu yang memberi kehidupan”, oleh sebagian ahli tafsir diartikan sebagai ajakan berperang, karena dengan ini, Allah I memuliakan derajat kaum muslimin setelah sebelumnya hina, dan Allah I menguatkan kaum muslimin setelah sebelumnya lemah. Al-Zujjâj menafsirkan ayat di atas dengan ajakan kepada ilmu, atau kehidupan abadi di akhirat. Tafsiran-tafsiran di atas – sesuai dengan kondisi yang melatarbelakangi turunnya ayat – adalah interpretasi dan maksud dari kandungan ayat. Namun Rasulullah menerapkannya dengan keumuman redaksi ayat. Pada suatu kesempatan Rasulullah saw. menemui Abu Dzarr ra. dan berucap salam kepadanya. Karena Abu Dzarr sedang melaksanakan shalat, ia tidak menjawab salam Rasulullah. Seusai shalat, Rasul menegurnya: “Apa yg mencegahmu dari menjawab salamku ?” Abu Dzarr menjawab: “Saat itu saya sedang melakukan shalat”. Rasulullah mengingatkan, “Tidakkah engkau mendengar firman Allah I ?"

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا ِللهِ وَلِلرَّسُوْلِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيْكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu. (QS: Al-Anfal 24)

Dari riwayat ini, Rasulullah menjadikan khithâb pada ayat di atas tidak sebagaimana konteks dan maksud diturunkannya ayat tersebut. Karenanya, sebagaimana yang menjadi pegangan mayoritas ulama', yang dijadikan patokan utama dalam menyikapi nash-nash Al-Qur'an atau hadits adalah keumuman teks, bukan kekhususan konteksnya

Nasikh dan Mansukh

Dalam kaitannya dengan pembahasan Al-Qur’an, permasalahan naskh (penyalinan hukum) tidaklah dapat diabaikan. Karena sebagai sumber hukum primer, Al-Qur’an haruslah menjadi rujukan utama dan pertama dalam penetapan hukum syari’at. Ketika suatu ayat Al-Qur’an disalin atau diganti hukumnya dengan ayat lain, maka keterkaitan ayat yang mansûkh (disalin hukumnya) tersebut dengan perbuatan mukallaf (pengemban beban syari’at) menjadi terputus dan tidak efektif lagi. Karenanya, dalam melakukan istinbâth (penggalian hukum dari nash-nash Al-Qur’an dan al-sunnah), seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan mendalam tentang ayat-ayat mansûkhnâsikh)nya berikut dalil yang menyalin (

Al-Fiqh

Ilmu Hadits, yang berguna menjelaskan sesuatu ayat yang mubham dan mujmal

Ilmu Mauhibah, yaitu Ilmu dianugerahkan Allah I untuk hambanya yang mengamalkan ilmunya.

Ibnu Abi Dunya berkomentar bahwa lima belas pengetahuan di atas laksana perangkat atau petunjuk bagi mufassir, tanpa penguasaannya ia tidak akan mampu mendapat gelar mufassir yang diakui tapi malah akan masuk dalam golongan mufassir bi ar-ra`yi yang sesat.

Dalam kitab al-Burhan disebutkan "cinta dunia, sifat takabbur, perbuatan bid'ah, dosa, lemahnya iman, mendewakan akalnya, logika yang tak berdasar kesemuanya merupakan hijab (penghalang) dari memahami wahyu Ilahi.

*Penulis adalah Aktivis Lajnah Bahtsul Masaa-il Pondok Pesantren Lirboyo

. Al- Jalal ad-Din as-Suyuthi as-Syafi'i al-Itqan Fi 'Ulum al-Qur`an. Darul Fikr. Libanon. Juz 1 Hal. 115.

. Ibid.

. Badruddin Muhammad bin Bahadir bin 'Abdullah az-Zarkasyi, Al-Bahru al-Muhith Fi Ushul Fiqh. Dar el-Kotob al-'Ilmiyyah. Libanon. 1421H/2000 M. Juz 3 Hal. 227.

. Syaikh Manna' Kholil al-Qoththon. Manna'ul Qoththon Mabahits Fi 'Ulumil Qur`an. Hal. 337.

. Op. Cit. hal. 339.

6. Al-Suyûthî, Op.cit., hlm. I hlm. 29.

. Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm al-Zarqâni, Manâhil al-‘Urfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut, Dâr al-Fikr, 1996, juz I hlm 76.

. Al-Zarqâni, Op. cit. hlm. 78-81; Al-Suyûthî Op.cit.

. Ketentuan menghadap kiblat ke masjidil Haram ini juga telah dijelaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah 144. Namun yang jelas, bukan berarti Allah berada pada Ka'bah, atau pada arah timur atau barat, karena Allah tidak bertempat dan juga tidak membutuhkan tempat.

. Al-Zarqânî, op. Cit. hlm. 81.

. Li‘ân adalah ungkapan seorang suami dalam menuduh istrinya yang diyakininya telah berbuat zina tanpa menghadirkan empat orang saksi mata. Atau ungkapan seorang istri dalam menolak tuduhan zina dari suaminya. Dengan li‘ân yang dilakukannya, suami terhindar dari sanksi qadzf (tuduhan zina tanpa menghadirkan empat orang saksi). Begitu pula bila sang istri balik melakukan li‘ân, maka ia terhindar dari sanksi zina. Setelah terjadi li‘ân, ikatan nikah menjadi lepas.

. Zhihâr adalah ucapan seorang suami yang menyerupakan istrinya dengan wanita yang tidak halal dinikahi.

. Al-Suyûthî, op.cit. juz I hlm. 30.

. Abû Ishaq Ibrâhim bin 'Ali bin Yûsuf Al-Syairâzî Al-Fairûzabadî, Al-Luma' fî Ushûl al-Fiqh, Surabaya: Al-Hidayah, hlm. 21.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS