RSS

IMAM BUKHORI SEBUAH KINERJA DAN KARYANYA

Hadits, dikala Rasulullah s.a.w dan para sahabat masih hidup, belum terbubukan seperti sekarang. Berbeda dengan ayat-ayat Al-qur'an, hadits dicatat secara teratur. Lebih banyak direkam dibenak para sahabat, dan dipindah-pindahkan secara lisan. Rasulullah bahkan melarang mereka menuliskan ucapan, tindakan, atau apapun dari beliau sepanjang diperkirakan akan menyebabkan percampurannya dengan pencatatan Al-qur'an. Toh, hafalan yang kuat, kejujuran dan disiplin yang ketat, baik dalam penyampaian maupun menerima hadits -- disamping catatan-catatan pribadi dari para sahabat dan tabi'in (generasi pasca sahabat) -- terbukti telah membantu memelihara keutuhan dan kemurnian sunnah nabi.

Penulisan hadits secara resmi baru terjadi pada akhir masa tabi'in. Ini dilakukan karena banyak cendikiawan Islam (ulama) yang telah banyak menyebar ke pelbagai penjuru dan nara sumber yang sudah meninggal. Juga, waktu itu sudah bermunculan hadits-hadits palsu, yakni sejak meninggalnya Ali bin Abi Thalib r.a., yang ditandai dengan tumbuhnya firqah-firqah (faksi-faksi) politik : Syiah, Khawarij, dan lain-lain. Ibnu Abil Hadid, dalam bukunya Nahjul Balagah, menuturkan bahwa yang mula-mula menciptakan hadits palsu adalah kelompok Syiah, yakni untuk mengagung-agungkan tokoh mereka. Tepatnya, kodifikasi hadits dimulai pada tahun 100 H atas inisiatif dan titah Khalifah Umaiyah Umar ibn Abdil Aziz. Maka diberbagai daerah berlangsunglah penelitian dan pembukuan oleh ulama-ulama setempat. Buku-buku hadits yang ditulis dimasa ini tidak sampai kepada kita, meskipun isinya kebanyakan sudah dimasukkan kedalam buku-buku yang lebih belakangan.

Kegiatan itu semakin ramai. Para Khalifah Dinasti Abasiyah meneruskan jejak Umar dengan memerintahkan para ulama menghimpun hadits. Maka, tesebutlah, diantar para penghimpun generasi ketiga (thabaqat Tsalitsah) : Malik di Madinah, Abu Muhammad Abdul Malik ibnu Abdil Aziz ibnu Juraij di Mekah, Al-Auza'i di Syam, Abu Abdillah Sufyan ibnu Sa'id Atsauri di Kufah, dan masih banyak lagi. Diantara mereka, sambil mengingat mekanisme "pemindahan isi" seperti yang sudah tersebut, hanya Imam Malik yang karyanya, Al-Muwaththa', masih terpelihara utuh hingga kini -- tentunya karena Imam Malik mempunyai mazhab fikih besar yang mendukungnya.

Ketika Bukhari tumbuh dan melihat karya-karya mereka, timbul niatan dihatinya untuk melakukan pengetatan dalam penyusunan hadits. Menurut dia karya-karya generasi terdahulu masih kurang memperhatikan unsur validitas suatu hadits. Yang sahih, hasan dan dla'if, meskipun terlihat dari ciri-ciri masing-masing, masih dicampuradukan. Mereka juga memasukan fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. Itulah kerja besar Bukhari, yang telah memberinya nama luar biasa besar pula dikalangan ahli hadits. " Orang yang pertama menyusun kitab hadits shahih adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail (Al-Bukhari), Baru kemudian Abul Hasan Muslim ibnul Hajjaj Al-Qusyairi, " tulis Abu Amr ibnu Shalah dalam kitab Ulumul Hadits. Setiap hadits yang disandarkan kepada nama tersebut dijamin tingkat validitas dan otentitasnya. Bahkan Shahih Bukhari diposisikan sebagai kitab terpenting setelah Al-Qur'an.

Selektifitas Hadits.

Imam Bukhari menerapkan proses selektifitas yang sangat ketat. Ia melakukan penelitian mendalam atas setiap hadits yang ditemuinya, baik dari aspek sanad (rangkaian periwayatan) maupun matan (body text). Aspek metodologinya memang kuat. Selain itu dia juga berdo'a dan melakukan meditasi. Muhammad ibnu Yusuf Al-Firyabi menuturkan bahwa setiap kali memutuskan untuk memasukan satu hadits kedalam kitabnya, terlebih dahulu Bukhari mandi dan shalat sunnah dua rakaat.

Ada delapan metode penyebaran hadits (tahammul hadits) : sama' (mendengar secara langsung pada guru hadits), qira'ah (murid membaca guru menyimak), ijazaah ( pemberian izin guru kepada muridnya untuk mengajarkan kitab atau hadits tertentu), munawalah (penyebaran hadits dengan era guru memberikan kitabnya kepada muridnya), kitabah (guru menuliskan hadits untuk muridnya), I'lam (guru memberitahu muridnya bahwa suatu hadits atau kitab hadits pernah didengar), washiyah (proses pengajaran hadits melalui pesan), dan wijdah (murid menemukan kitab hadits yang belum pernah diriwayatkan). Bukhari menolak metode washiyah dan wijdah. Setiap hadits yang diriwayatkan dengan dua metode ini menurutnya, tidak dipandang shahih karena sanadnya munqati (terputus) oleh tiadanya tatap muka antara murid dan guru. Dalam menentukan sahih dan tidaknya sebuah hadits Bukhari mengemukakan dua syarat. Meskipun hanya dua, namun syarat ini sangat berat sekali untuk dipenuhi. Pertama, perawi harus memenuhi tingkat kriteria yang paling tinggi dalam hal watak pribadi, keilmuwan dan standar akademis. Kedua, harus ada informasi positif tentang para perawi yang memastikan bahwa mereka saling bertemu muka, dan para murid mendengar langsung dari gurunya (muttashil). Itulah, terutama yang kedua, yang dikenal sebagai syartul Bukhori : murid dan guru benar-benar bertemu, bukan hanya mungkin bertemu. Inilah yang membedakan Bukhari dengan periwayat lain.

Belajar hadits.

Bukhari belajar hadits saat masih sangat belia, bahkan belum mencapi usia 10 tahun. Dalam usia 16 ia sudah hafal beberapa buku karangan ulama terkemuka seperti Ibnu Mubarak dan Waqi'. Konon beliau tidak hanya hafal matannya, tetapi juga memiliki pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang sejarah matan (ashabul wurud) berikut sejarah mata rantai pembawa (transmitter) hadits tersebut secaara mendetail. Dari riwayat hidup dan etika sampai tingkat intelektualitasnya. Nama lengkap sarjana besar ini : Abu Abdillah Muhammad ibnu Ismail ibnu Ibrahim ibn Mughirah ibn Bardizbah, canggah (ayah buyut) Bukhari, berasal dari persia dan beragama Majusi. Anak Bardizbah yang bernama Al-Mughirah masuk Islam atas dakwaan Al-ju'fy ia berimigrasi ke Bukhara dan mencantumkan nama Al-ju'fy dibelakang namanya. Ini merupakan tradisi bangsa Arab waktu itu. Menggunakan nama orang yang mengislamkannya. Bukhara yang terletak di wilayah Uzbekistan, Asia tengah, pernah menjadi pusat perdagangan dunia pada masa Dinasti Samanid ( 261-386 H/872-998M ).

Sepenigggal ayahnya, sebagai anak yatim Bukhari diasuh oleh ibunya sendiri. Suatu ketika ia naik haji bersama ibu dan saudara laki-lakinya, Ahmad. Setelah haji ia tidak ikut pulang bersama ibu dan saudara laki-lakinya. Ia memutuskan untuk menetap di Mekah guna menuntut ilmu. Ia mendalami hadits dari tokoh-tokoh terkemuka disana seperti Al-Walid Azraqi dan Ismail ibn Salim As-saigh. Ini masih diteruskan " pengejaran " ilmu tentang hadits dari anak cucu sahabat-sahabat nabi di Madinah. Ia pun melakukan penjelajahan dalam mencari hadits kepelbagai negara timur tengah, seperti Mesir, Khurasan, Wasit, Bashrah, Naisapur, Qarasibah, Asqalan, dan Hims. Menurut catatan Ibnu Hajar, pensyarah (komentator) utama kitab shahih Bukhari, Imam Bukhari pernah belajar kepada 1.080 guru dalam bidang ahli hadits. Guru-guru tersebut menurut Ibnu Hajar, terdiri atas lima level. Pertama, Guru yang oernah mendengar hadits dari tabi'in, seperti Muhammad ibnu Abdillah Al-anshari yang meriwayatkan hadits dari Humaid, Makki bin Ibrahim yang mereiwayatkan hadits dari Yazid bin Abi Ubaid; dan masih banyak lagi. Level kedua, mereka yang hidup semasa dengan yang disebut barusan, tapi tidak mendengar hadits dari tabi'in yang bisa dipercaya (tsiqat) seperti Adam ibn Abi Iyas, Said ibn Abi Maryam, dan Ayub ibn Sulaiman ibn Bilal. Level ketiga, mereka yang tidak pernah bertemu dengan tabi'in akan tetapi mendapatkan periwayatan dari tabi'it tabi'in (generasi pasca tabi'in) seperti Sulaiman ibn Harb, Qutaibah ibn Sa'id, Nu'im ibn Hammad, Ali ibn Madini, Yahya ibn Mu'in, Ahamd ibn Hanbal, dan masih banyak lagi. Level keempat, teman seangkat Bukhari sendiri seperti, Muhammad ibn Yahya Az-dzuhli, Abi Hatim Ar-Razi, Muhammad ibn Abdirrahim, Ahmad ibn Nadzar, dan lainnya. Level kelima, mereka yang ketika Bukhari mencari hadits dan sanad memberikan informasi bermanfaat, seperti Abdullah ibn Hammad Al-Amili, Abdullah ibn Abil Abbas Al-Kharizmi, Husain ibn Muhammad Al-Qubbani, dan lain sebagainya.

Kritik hadits.

Tradisi kritis dalam Islam sebenarnya sudah ada jauh sebelum Imanuel Kant menulis tiga buku utamanya tentang nalar kritis, kritik der reinen vermunft (1781), kritik der praktischen vernunft (1788 ), dan kritik der urteilskraft (1790). Sudah dimulai semenjak munculnya insiatif kodifikasi atas ucapan, tindakan, dan penetapan atau persetujuan nabi s.a.w. Bahkan pada zaman Rasulullah masih hidup., bibit untuk kritik hadits ini sudah ada walaupun masih dalam bentuk yang sangat sederhana. Prateknya adalah melakukan klarifikasi dan konfirmasi apakah nabi pernah mengeluarkan hadits bersangkautan. Sepeninggal nabi, perujukan semacam itu sudah tidak bisa dilakukan lagi. Konsekuensinya mereka hati-hati dalam menyeleksi setiap perkataan dan tindakan yang dinisbatkan kepada nabi s.a.w.

Menurut Ibn Hibban, setelah wafat para sahabat terkemuka, tradisi kritik hadits pengembangannya diambil alih oleh generasi tabi'in. Seperti Ibnul Musyyib (w.94), Abdullah ibn Abdillah ibn Utbah dan masih banyak lagi. Pada masa itu, ada mazhab ulama hadits yaitu Madinah dan Irak. Mazhab Madinah dipelopori oleh, tiga ulama hadits terkemuika, yaitu Az-zuhri, Yahya ibn Sa'id ibn Jubair, Asy-sya'bi, Thawus, Al-Hasan Al-Bashri, dan ibn Sirin. Untuk selanjutnya, Tradisi kritik haadits mengalami perkembangan penting. Meskipun sudah menunjukkan perkembangan, tradisi kritik pada abad pertama tidak bisa dibandingkan dengan yang berkembang pada abad kedua dan ketiga. Semangat pencariannya sungguh sangat luar biasa. Demi mendapatkan suatu hadits, mereka harus melakukan perjalanan jauh kenegri orang. Yahya ibn Mu'in pernah menyatakan : "Ada empat macam manusia yang tidak pernah dewasa dalam hidup mereka". Satu diantaranya adalah orang yang menuliskan hadits di kotanya sendiri dan tidak pernah melakukan perjalanan untuk tujuan tersebut.

Karya Bukhari.

Karya Bukhari menurut Muhammad Azami mencapai sejuimlah 22 buku. Kedu puluh dua karya tersebut masing-masing berjudul ; Qadhayah ashahabah wat-tabi'in, Raf'ul Yadaini, Qira'at Al-Khalf Al-Imam, Khalf Af'al Al-'Ibad, At-Tafsir Al-Kabir, Al-Musnad Al-Kabir, Trikh As-Shaghir, Tarikh Awsath, Tarikh Kabir, Al-Adab Al-Mufrad, Bir Al-Walidain, Adua'fa', Al-Jami' Al-Kabir Al-Syribah, Al-Hibah, Asami' Ashsahabah,Al-Wuhdan, Al-Mabsuth, Al-'Ilal, Al-Kuna, Al-Fawaid dan Shahih Bukhari. Dari sejumlah karya beliau yang paling monumental adalah Shahih Bukhari. Kitab yang berisi 9.082 hadits ini disusun dalam waktu yang relatif panjang yaitu 16 tahun.

Kitab Shahih Bukhari ini dimaksudkan oleh pengarang sebagai suatu dobrakan baru bagi kitab-kitab hadits yang telah oleh ulama-ulama pendahulu maupun semasanya yang tentunya ensiklopedis yaitu suatu kitab yang berisi kumpulan dari hadits-hadits baik shahih, hasan, maupun da'if.. Padahal unutk memilah-milah mana hadits yang shaih, hasan dan dai'f dibutuhkan suatu keahlian tersendiri. Keahlian tersebut tidak dipunyai kecuali oleh orang-orang tertentu. Selain itu sistematik penyusunannya pun tidak berdasarkan tema-tema tertentu, sehingga terkesan agak campur baur. Imam Bukhari, dalam hal ini memulai melakukan sistematisasi berdasarkan logika fiqhiyah. Semakin jelas kita lihat hal itu apabila membuka shahih Bukhari. Tampak disana urutan babnya mengikuti kecenderungan bab-bab dalam fikih. Misalnya dalam kitab ini, setelah kitabul wahyu, Al-Imam dan Al-Ilmu, langsung memasuki bab Thaharah, Al-Ghaslu, dan seterusnya. Maklum dia seorang ahli fikih yang sangat terpandang pada zamannya. Untuk masa selanjutnya, kecenderungan tersebut banyak ditiru oleh kalangan ahli hadits pasca-Bukhari. Sebut saja sebagai contoh kitab Bulugul Maram.

Mengenai reputasi Bukhari dalam bidang ilmu fikih memang sudah tidak diraguakn lagi. Abu Nu'aim dan Ahmad ibnu Hammad mengatakan, Bukhari merupakan ahli fikihnya zaman ini. Ibnu Katsir dalam At-tarikh juga dengan bangga mengakui keunggulan Bukhari dalam ilmu fikih dan hadits yang hanya bisa ditandingi oleh Imam ibnu Hanbal dan Ishad bin Rahiyah, salah seorang guru Bukhari sendiri.

Konteks Sosial Politik.

Semasa hidupnya ada dua peristiwa konflik yang agak penting mengenai Bukhari. Pertama, konflik dengan Muhammad ibn Yahya Adzuhli di Naisabur, seorang ulama yang karismatik diwilayah Khurasan. Paling tidak sebelum kedatangan Bukhari kesana pada 250 H. Setelah kedatangan di Khurasan, Bukhari sering dikunjungi banyak orang. Suatu ketika dalam majlisnya seorang berkunjung bertanya, apakah Al-Qur'an itu makhluk atau bukan ? Bukhari menjawab bahwa tindakan kita adalah makhluk dan ucapan kita merupakan bagian dari tindakan kita Menanggapi jawaban ini, para pengunjung pecah menjadi dua. Kelompok pertama menganggap bahwa jawaban yang diberikan Bukhari. kelompok yang kedua Bukhari menganggap bahwa lafal Al-Qur'an merupakan makhluk. Sedangkan tidak demikian. Atas persoalan ini, Bukhari dikeluarkan dari Khurasan. Padahal menurut riwayat yang kuat, Bukhari tidak pernah memberikan jawaban bahwa Al-Qur'an itu makhluk. Yang dikatakan Bukhari adalah Al-Qur'an kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan tindakan kita makhluk. Tapi Adz-Zuhli tetap menuduh Bukhari berkata, Al-Qur'an itu mahluk. Hal ini bisa dimaklumi, karena setelah kedatangan Bukhari, pamor Adz-Zuhli turun. Rupanya dia merasa cemburu dengan Bukhari.

Menurut Hakim, ketika terjadi pertistiwa pertentangan antara Bukhari dan Adz-Zuhli semua orang menjauhi Bukhari. Hanya Muslim bin Al-Hajjaj dan Ahmad bin Salmah yang masih mau bersamanya. Sebagai seorang ulama, Bukhari juga mengambil jarak dengan kekuasaan. Sikap ini telah menggiringnya kedalam konflik dengan gubernur Khalid bin Ahmad. Suatu ketika gubernur mengirim utusan kepada Bukhari agar mau mengajarkan kitab Al-Jami'ush Shahih dan sejarah kepadanya. Kepada sang utusan Bukhari mengatakan, ia tidak akan merendahkan ilmu dan juga tidak akan membawa kitab tersebut dihadapan para penguasa. Apabila penguasa butuh, dipersilahkan datang ke masjidnya atau rumahnya. Versi lain mengatakan bahwa Bukhari menolak permintaaan sang gubernur untuk mengajarakan kitab Al-Jami'ush Shahih dan tarikhnya kepada anak-anaknya. Apapun versi sejarahnya, Bukhari memang sangat kritis terhadap penguasa. Ia benar-benar mewarisi Hasan Al-Bashri, ulama generasi pendahulunya, yang tidak pernah akan mendatangi penguasa.

Kritik terhadap Bukhari.

Meskipun tujuan Bukhari dalam menulis kitab hadits ini untuk mengumpulkan hadits-hadits yang sahih, namun belum tentu semua yang diriwayatkan ',sahih. Kritik terhadap kumpulan hadits Bukhari tetap ada sejak dulu.

Imam Ad-daruquthni, misalnya, dalam bunya Al-Istidrakat Wat-tatabbu, mengeritik sebanyak 200 hadits Bukhari dan Muslim. Kemudian Tirmidzi megomentari keberadaan Abu Layla yang menjadi salah satu perawi hadits Bukhari. Menurut Tirmidzi, Abu Layla memang orang bisa dipercaya, namun ia tidak pernah meriwayatkan sedikitpun hadits darinya. Ignaz Goldziher mengeritik dengan sangat keras sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Az-Zuhri hanya tiga masjid yang diperintahkan rasulullah untuk dikunjungi. Menurut Goldziher, hadits ini sangat bernuansa politis. Jadi, ia menduga, pasti palsu. Hadits dibuat atas perintah Abdul Malik ibn Marwan (Damaskus) kepada Az-Zuhri karena kecemasannya terhadap Abdullah ibn Zubair di Mekah. Abdul Malik ibn Marwan khawatir, Abdullah ibn Zubair memanfaatkan orang Syam yang naik haji ke Mekah untuk berbai'at kepadanya. Untuk itu, Abdul Malik mengusahakan agar orang Syam tidak naik haji ke Mekah. Cukup ke Qubbatush Shakhra (batu cadas) di Palestina.

Oleh Azami, pendapat Goldziher ini tidak dianggap akurat. Data-data historis-kuantitatif yang mendukungnya tidak cukup akurat. Azami mengataakn bahwa antara Az-Zuhri-- lahir antara 50/58 H -- dan Malik sangat berbeda jauh umurnya, dan tidak mungkin keduanya bertemu sebelum tahun 81 H. Masjidil Aqsa yang terletak di Palestina pada tahun 67 H berada diluar kekuasaan Abdul Malik bin Marwan. Khalifah ini baru membangun Qubbatush Shakhra pada tahun 68 H. Pada saat itu Az-Zuhri kira-kira berumur 10 - 18 tahun. Jadi, tidak mungkin anak yang baru berumur demikian muda sudah mempunyai pengaruh besar dalam memindahkan haji dari Mekah ke Pakestina. Apalagi di Syam kala itu masih banyak sahabat dan tabi'in yang hidup. Kritik lain datang dari Ahmad Amin dalam bukunya Fajrul Islam yang menuduh Bukhari hanya mementingkan aspek kritik sanad. Akibatnya banyak hadist Bukhari yang tidak sesuai dengan penemuan ilmu pengeatahuan modern. Misalnya hadits bahwa " seratus tahun lagi tidak akan ada manusia hidup di dunia ini ". Menurut Azami, Ahmad Amin keliru dalam memahami hadits ini. Yang dimaksud bukannya " seratus tahun lagi semenjak nabi mengucapkan ahadits itu tidak ada orang yang hidup lagi ", akan tetapi " orang yang saat itu masih hidup, seratus tahun lagi akan mati ".

Sedangkan Maurice Bucaille menyoroti sisi ketidakcocokan muatan hadits Bukhari dengan sains modern. Misalnya, ia mengkritik tentang hadits " jika lalat masuk air minum, maka celupkan sekalian ". Uintuk menjawab pertanyaan ini, para ahli hadits pecah menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok konservatif, yang menolak setiap jenis penilaian ilmu penegetahuan terhadap hadits. Menurut mereka, antara ilmu pengetahuan dan hadits tidak ada kesejajaran status. Hadits bersifat sakral, dan kebenarannya berlaku abadi, sedangkan ilmu pengetahuan bersifat profan, dan kebenarannya dikondisikan oleh ruang dan waktu. Kedua, kelompok ektrim, yaitu mereka yang menginginkan agar setiap hadits yang berkenaan dengan keduniawian harus dicek kebenarannya melalui ilmu pengetahuan. Kalau ternyata tidak cocok, maka kebenarannya tidak bisa diterima. Ketiga, kelompok moderat, yaitu mereka yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan bisa digunakan untuk menilai kebenaran hadits tapi dengan syarat, ilmu tersebut berlaku secara tetap dan tidak berubah-ubah kebenarannya.

Dari ketiga kelompok tersebut agaknya kelompok moderatlah yang bisa kita gunakan pendapatnya. Tapi persoalannya, apakah karakter suatu ilmu ada yang benar selamanya dan tidak berubah ?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS