(Metode Amin al-Khuli dan Bint al-Syathi’ dalam memahami al-Qur’an)
oleh: Fajar D.K
Pendahuluan
Gagasan pemikiran evolutif dalam dunia pemikiran Islam seharusnya menjadi lokomotif bagi perkembangan kemajuan peradaban Islam yang sudah lama tertidur sementara mereka maju dengan pesatnya. Ide cemerlang progessif harus disadari betul oleh kaum muslim, khususnya kaum intelektual Islam yang mengaku memiliki tanggung jawab social-moral bagi citra baik agama tercinta ini. Gagasan ini bukan tanpa konsekwensi. Sebagai hal yang musti dilakukan tatkala tergugah melihat kenyataan yang terjadi dalam tubuh agama Islam adalah keberanian untuk coba sedikit merekonstruksi pemikiran ulama terdahulu yang dipandang sebagai boomerang bagi upaya menjawab berbagai permasalahan yang semakin kompleks dan runyam. Atau bahkan membuat sesuatu yang amat berbeda sekaligus demi cita-cita ideal tersebut. Gagasan itu harus memiliki prinsip dasar pada relevansi dengan tuntutan permasalahan yang sesuai dengan perkembangan zaman, sekaligus sebagai penolakan atas aturan-aturan hukum yang bersifat dogmatis dalam satu masa tertentu, serta sebagai penolakan terhadap kalangan yang mengklaim atas absolutisme ajaran keagamaan.
Salah satu pemikir Islam kontemporer yang memiliki kesadaran keharusan memberikan nuansa baru sekaligus kritik terhadap pendahulu adalah Amin al-Khuli. Kritikan beliau dialamatkan pada polemic di antara mufassir-mufassir klasik yang mengklaim memiliki kebenaran pada pendapat masing-masing, lebih-lebih jika problem dalam perbedaan itu berbau ideology. Tawaran yang beliau ajukan bagaimana pemahaman terhadap al-Qur’an tersebut dapat sepadan meskipun dari latar belakang yang berbeda-beda. Meskipun beliau hanya sebatas penggagas dan pencetus ide yang tidak memiliki karya tafsir tersendiri, namun kita bisa melihat banyak sekali pengaruh metodologi yang beliau tawarkan ini. Di antara murid-murid beliau yang tenar di dunia Islam kontemporer adalah Aisyah Binti Syathi dan Nasr Hamid Abu Zaid.
Pada makalah ini kami akan sedikit mengulas tokoh Amin al-Khuli dan Binti Syati’ yang dipandang memiliki kesamaan ide antara guru dan murid. Yaitu memahami al-Qur’an dari perspektif sastra, al-Qur’an sebagai kitab sastra yang agung. Berbeda dengan Nasr Hamid yang mencoba mengkomparasikan pemikiran sang guru dan Muhammad Abduh.
Setting Historis
§ Amin al-Khuli
Nama lengkap Amin al-Khuli adalah Amin Ibn Ibrohim Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusuf al-khuli. Keluarga dia adalah keluarga pendekar Arab yang gagah pemberani dan kental nuansa keagamaannya. Kakek Amin al-Khuli dari pihak ibu nya (Fatimah) ini adalah Syekh Ali Amir al-Khuli yang terkenal dengan sebutan al-Sibhi seorang alumni al-Azhar,dengan speialisasi Qira’at . Dia lahir pada awal bulan mei 1895 M.
Pada usia tujuh tahun Amin tinggal bersama pamannya dan di gembleng dangan pendidikan agama yang sangat ketat seperti meng hafal al-qur’an,menghafal tajwit al-tuhfah dan al-jazariah, fiqh, dan nahwu. Adapun kitab yang wajib di hafal adalah al-samsia ,al-kanz, al-ajurumiah dan matan al-alfiah. Dalam penghafalan itu dia di beri keistimewaan yakni di usia yang ke sepuluh tahun dia sudah hafal al-qur’an khususnya Qra’at Hafs dalam waktu singkat”18 bulan”.
Pada usia yang kelima belas enam bulan enam hari Amin al-Khuli masuk akademi hukum (madrasah al-qada al-syar’i) dengan mata ujian masuk hafalan al-qur’an lengkap, membaca kitab dan mengarang dalam bidang fiqh dan nahwu. Selain itu juga mempelajari ilmu pengetahuan yang lain seperti al-jabar, matematika teoritis, astronomi, fisika, kimia, sejarah, sampai geografi. Selain itu dia juga aktif dalam organisasi yang diikuti Ikhwan al-Sofa dengan aktifitas di bidang seni dan sastra.
Pada tahun 1917 dia menulis tesis dengan titel al-Jundiyah al-Islamiyah wa nadmuha yang di terbitkan tahun 1960 dengan judul al-jundiyah wa silmu waqi’ wa nissal dan artikel yang ditulis al-Madinah al-jundiyah fi siqhiyah,al-Aslihah al-Nariyah fil juyusy al-islamiyah dan al-jundiyah fil islam.
Setelah mengecam berbagai aktifitas intelektual maupun sosial politik dengan penuh semanggat dan tanggung jawab demi kemajuan agama, negara dan bangsa dengan segala suka yang mana kesemuanya kental dengan nuansa seni-seni dan sastra, sehingga pada akhirnya yakni bertepatan pada hari Rabu tanggal 6 Maret 1966 dalam usia yang ke 71 tahun sang Pendekar Sastra dan Penbaharu ini meninggal.
§ Binti al-Syathi’
Bint syati', nama aslinya 'Aisyah 'Abd al-Rahman, guru besar sastra dan bahasa Arab pada Universitas 'Ain al-Syams, Mesir, guru besar tamu pada Universitas Umm Durman, Sudan, dan Guru besar tamu pada Universitas Qarawiyyin, Maroko. Lahir di Dumyat, sebelah barat delta Nil, tanggal 06 November 1913,dari keluarga muslim yang saleh. Ayahnya, 'Abd al-Rahman, adalah tokoh sufi dan guru teologi di Dumyat. Namun, demikian ia bukan orang asli Dumyat melinkan dari daerah Syubra Bakhum, sebelah wilayah di manufiyah. Setelah menyelesikan pendiikan di al-Azhar, ia menikah dengan putri Ibrahim Damhuji al-Kabir, seorang Syaikh al-Azhar.
Pendidikan bint al-Syathi dimulai dari belajar membaca dan menulis Arab pada Syaikh Mursi di Shubra Bakhum, di tempat asal ayahnya, ketika ia berumur 5 tahun. Selanjutnya ia masuk sekolah dasar untuk belajar gramatika bahasa arab dan dasar-dasar kepercayaan Islam, di Dumyat. Setelah menjalani pendidikan lanjutan, pada tahun 1939, ia berhasil meraih jenjang Licence (Lc) jurusan sastra dan bahasa Arab, pada Universitas Fuad I, Kairo. Dua tahun kemudian Bint al-Syathi menjalani jenjang Master, dan tahun 1950 meraih gelar doctor pada bidang yang sama dan lembaga pendidikan yang sama pula, dengan desertasi berjudul al-Ghufran li Abu al-A'la l-Ma'ari.
Karier akademik Bint al-syati dimulai sebagai guru sekolah dasar khusus perempuan di al-Mansuriah, 1929. Tahun 1932 menjadi supervisor pendidikan di sebuah lembaga bahasa untuk inggris dan perancis; tahun 1939 menjadi asisten Lektur pada Universitas Kairo, menjadi Inspektur bahasa Arab pada sebuah lembaga bahasa pada tahun 1942 sekaligus sebagai kritikus sastra pada Koran al-Ahram; menjadi lektur pada bahasa Arab pada Universitas 'Ain al-Syam tahun 1950, menadi asisten profesor untuk bahasa Arab pada Univrsitas yang sama pula tahun 1957, menjadi profesor sastra Arab pada sebuah Universitas khusus perempuan, dan akhirnya menjadi profesor penuh untuk sastra Arab pada Universitas 'Ain al-Syam, tahun 1967.
Disamping minat dalam bidang pendidikan dan sastra, bint al-Syathi juga mempunyai bakat jurnalistik yang besar. Ia telah menulis artikel di mass media sejak dipendidikan lanjut, suatu prestasi yang jarang terjadi di lingukungannya. Bakat ini kemudian di kembangkan dengan penerbit majalah al-Nahdlah al-Nasiyah, tahun 1933, dimana ia sekaligus bertindak sebagai redakturnya.
Tawaran Kreatif Amin al-Khuli dalam Studi al-Qur’an
Nama Amin al-Khuli dalam dunia tafsir mungkin tidak terlalu banyak didengar. Nama tokoh yang sejak usia dini (sepuluh tahun) sudah menghafal al-Qur’an dan beberapa matan kitab hadis ini justru tenggelam, sementara murid-muridnya banyak mendapat sorotan masyarakat. Di antara murid-murid beliau yang mampu memberikan pemikiran segar bagi studi al-Qur’an adalah Nasr Hamid Abu Zaid, Muhammad Ahmad Khalf Allah, Syukri Ayyad, dan Binti Syathi’. Barangkali salah satu alasan yang menyebabkan demikian terjadi adalah hasil dari kajian murid dan pengikutnya ini di negerinya sendiri justru banyak mendapatkan pertentangan keras sehingga yang menjadi sorotan yang bersangkutan bukan pencetus ide utamanya. Tampaknya masyarakat muslim – baik kalangan elit maupun awam – dan Mesir khususnya, lebih memperhatikan kesimpulan akhir dari pada proses yang menghantarkanya.
Sumbangsih al-Khuli, setelah ia bergelut di dalam menelaah turats Arab-Islam terutama dalam bidang humanioranya, terletak pada gagasan prosedur memproduksi teks, dalam konteks ini al-Qur’an. Meskipun beliau bukan yang pertama, namun kesadaran para ulama dalam pandanganya terhadap al-Qur’an, sebelumnya memiliki kecenderungan yang tidak sepadan dengan beliau. Para sarjana sebelum Abduh melihat al-Qur’an dari sisi dogmatis-teologis. Sehingga memunculkan corak-corak tafsir ideologis yang amat sectarian dan cenderung eksklusif untuk secara lapang dapat menerima gagasan di luar dirinya. Sebagai akibat dari cara pandang ini maka penafsiran al-Qur’an lebih berupa latihan intelektual bidang tertentu seperti kalam, sufisme, fiqh, gramatika Arab atau sejarah bahkan cabang sains. Penafsiran semacam ini memberikan kesimpulan al-Qur’an hanyalah alat justifikasi bagi konsentrasi tertentu mufassirnya.
Untuk merenovasi bangunan tafsir semacam ini, Amin al-Khuli merasa perlu merancang dari dasar fondamen yang baru. Prinsip yang harus dipegang mufassir sebelum menafsirkan al-Qur’an, supaya tidak terjebak pada upaya mencari pembenar dari al-Qur’an atas kecenderungan pribadinya, diusulkan olehnya dengan cara memandang al-Qur’an sebagai sebuah karya sastra agung sebelum memandangnya kitab suci.
Pertama sekali al-Qur’an harus dianggap sebagai kitab al-‘Arabiyah al-kubra. Karena al-Qur’an mengabadikan bahasa Arab, menjadi kebanggaan bahasa Arab dan kearabanya diakui oleh semua orang Arab apapun agama mereka sepanjang mereka masih menyadari kearaban mereka. Dengan cara pandang ini Amin al-Khuli memprediksikan bahwa hasil akhir kesimpulan tentang al-Quran akan sama oleh mufassir yang muslim, maupun orang Kristen, kaum pagan, materialis, atau ateis. Dengan kata lain bahkan bukan kepentingan agama yang harus menjadi pangkal tolak penafsiran al-Qur’an. Bahwa hasil akhirnya nanti diperlukan bagi kepentingan agama, itu soal lain, karena dalam kasus semacam ini aksi penafsiran itu tidak terpengaruh oleh konsepsi keagamaan apapun jadi lebih relative objektif. Artinya penafsiran yang dibangun di atas cara pandang bahwa al-Qur’an adalah kitab sastra Arab besar, akan bisa mendapatkan dan mencapai makna sejati al-Qur’an.
Untuk mewujudkan cita-cita penafsiran ini Amin al-Khuli menetapkan tugas pokok seorang mufassir dalam aksi penafsiran dengan langkah studi eksternal teks (dirasah ma haul al-Qur’an) dan studi internal teks (dirasah fi al-Qur’an nafsihi).
Dua persyaratan ini menjadi keharusan bagi seorang mufassir yang ingin melahirkan tafsirnya bersifat sastrawi. Jadi seorang mufassir harus melacak terlebih dahulu lingkungan material maupun non material yang ada ketika al-Qur’an turun, hidup, dihimpun, dibaca, dan dihafal, juga bagaimana al-Qur’an berbicara pada audienya yang pertama.
Sedang studi aspek internal al-Qur’an dimaksudkan bahwa seorang mufassir harus melacak perkembangan makna dan signifikansi kata-kata tertentu al-Qur’an dalam bentuk tunggalnya. Kemudian dilacak indikasi makna ini dalam setiap generasinya agar dapat dilihat pergeseran makna dalam berbagai generasi serta pengaruhnya secara psikologis social dan peradaban umat terhadap pergeseran makna.
BINTI SYATI’ PENERUS PEMIKIRAN SANG SUAMI
Kepada Amin al-Khuly …
Mengarungi – bersamanya – lautan hidup,
Tampak olehku “tanda-tanda manusia”: Keagungan, ambisi, arogansi, ketajaman akal, kehalusan perasaan, keluhuran nuraninya.
Terasa pula “tragedy manusia”: Kelemahan, kerapuhan, keterbatasanya.
Dan disela-sela hidup dan matinya,
Aku menjadi sensitive dengan “kisah manusia”,
Dari mula perjalanan hingga puncaknya.
Mesir Baru, Maret 1969.
Beberapa untaian kalimat di atas diungkapkan Binti Syathi’ pasca kematian sang suami tercinta, Amin al-Khuli (w. 1966). Sekelumit memang, namun dapat menggambarkan kepedihan yang teramat berat karena ditinggal seorang yang “telah mengisi keberadaanku dengan nilai dan makna”.Tampak olehku “tanda-tanda manusia”: Keagungan, ambisi, arogansi, ketajaman akal, kehalusan perasaan, keluhuran nuraninya.
Terasa pula “tragedy manusia”: Kelemahan, kerapuhan, keterbatasanya.
Dan disela-sela hidup dan matinya,
Aku menjadi sensitive dengan “kisah manusia”,
Dari mula perjalanan hingga puncaknya.
Mesir Baru, Maret 1969.
Yang menjadi catatan penting di sini adalah bagaimana posisi Binti Syathi terhadap Amin al-Khuli dalam hal pemikiran dalam studi al-Qur’an. Binti Syathi’ adalah sosok yang telah meneruskan al-Khuli untuk mengungkap dan memahami al-Qur’an perspektif sastra yang dicetuskanya sebagai tawaran yang lebih dapat mengarah obyektifitas pemahaman non-ideologis-teologis. Secara jujur Binti Syathi’ mengakui bahwa metode yang beliau pakai ia peroleh dari guru besarnya di Universitas Fuad I.
Binti Syathi’ meyakini bahwa al-Qur’an menjelaskan dirinya dengan sendirinya, kedua al-Qur’an harus dipelajari dan dipahami keseluruhanya sebagai suatu kesatuan yang karakteristik-karakteristik ungkapan dan gaya bahasa yang khas, dan ketiga penerimaan atas tatanan kronologis al-Qur’an dapat memberikan keterangan sejarah mengenai kandungan al-Qur’an tanpa menghilangkan keabadaian nilainya.
Berdasarkan tiga dictum atau basis pemikiran di atas, Binti Syathi mengajukan metode tafsirnya, yang menurutnya diambil dan dikembangkan dari prinsip-prinsip metode penafsiran al-Khuli yang terdiri dari 4 langkah:
1. Memberlakukan apa yang ingin dipahami dari al-Qur’an secara obyektiif, dan hal ini dimulai dengan pengumpulan semua surah dan ayat mengenai topic yang ingin dipelajari.
2. Untuk memahami gagasan tertentu yang terkandung di dalam al-Qur’an, menurutn konteksnya, ayat-ayat di sekitar gagasan itu harus di susun menurut tatanan kronologis pewahyuan, hingga keterangan-keterangan mengenai wahyu dan tempat dapat diketahui.
3. Karena bahasa Arab adalah bahsa yang digunakan dalam al-Qur’an, maka harus dicari arti linguistic aslinya yang memiliki rasa kearaban kata tersebut dalam berbagai penggunaan material dan figuratifnya. Dengan demikian, makna al-Qur’an diusut melalui pengumpulan seluruh bentuk kata dalam al-Qur’an, dan mempelajari konteks spesifik kata itu dalam ayat-ayat dan surah-surah tertentu serta konteks umumnya dalam al-Quir’an.
4. Untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit, seorang mufassir harus berpegang pada makna nash dan semangatnya (maqashid al-syar’i), kemudian dikonfrontasikan dengan pendapat para mufassir. Namun, hanya pendapat yang sejalan dengan maksud teks yang bisa diterima sedangkan penafsiran yang berbau sectarian dan israilliyat bisa dijauhkan.
Beberapa Kesimpulan Binti Syathi’ Dari Hasil Pembacaan Terhadap al-Qur’an
Bahwa apa yang oleh sebagian ahli linguistic dipandang sinonim-sinonim, pada kenyataanya tidak pernah muncul di dalam al-Qur’an dengan pengertian yang benar-benar sama.
Penggunaan kata kerja diseputar peristiwa qiyamat, baik dalam bentuk pasif (majhul) atau lainya yaitu bentuk-bentuk VII dan VIII. Binti Syathi menyatakan para mufassir dan ahli retorika telah menyibukan diri dengan pertimbangan-pertimbangan tata bahasa di sekitar subjek-subjek seperti di atas, dengan demikian melupakan fenomena gaya penekanan al-Qur’an pada kepasifan alam raya pada hari qiyamat, ketika semua ciptaan secara spontan tunduk kepada peristiwa-peristiwa yang dahsyat pada hari itu. Lebih jauh bentuk kata kerja pasif mengonsentrasikan perhatian pada peristiwa dan mengabaikan sang pelaku actual, bentuk VII dan bentuk VIII secara kuat menunjukan ketundukan ketika peristiwa berlangsung.
Dengan aturan bahwa ayat-ayat yang setema disusun secara kronologi pewahyuan, bisa diketahui secara lebih meyakinkan tentang proses penetapan hukum dan arah tujuanya. Ini, antara lain, terlihat pada proses dan kronologi pelarangan minuman keras.
Dalam kaitanya dengan pemahaman teologis, bahwa kehendak yang diakui adalah yang berupa tindakan, bukan sekedar abstraksi intelektual atau suatu sifat, dan kehendak ini tidak bisa dipaksakan. Ini didasarkan atas studi bahwa kata arada (berkehendak) muncuk 140 kali; 50 kali dinisbatkan kepada Tuhan, 90 kepada makhluk. Kata ini tidak pernah muncul dalam bentuk kata kerja abstrak iradah, tetapi dalam bentuk madly dan kata kerja sekarang serta masa depan.
Contoh Tafsir Sastra Binti Syathi’
Salah satu contoh penafsiran Binti Syathi dengan pendekatan sastra dapat dilihat bagaimana beliau menafsirkan surat al-Duha. Menurut beliua surat Duha dimulai dengan qasam wawu. Pendapat yang berlaku dikalangan ulama terdahulu mengatakan bahwa, sumpah al-Qur’an ini mengandung makna pengagungan terhadap muqsam bih (obyek yang digunakan untuk bersumpah). Gagasan ini berkembang luas, sehingga menyeret mereka untuk melakukan pemaksaan di dalam menjelaskan segi keagungan pada setiap hal yang digunakan al-Qur’an untuk bersumpah dengan wawu.
Qasam dengan wawu pada umumnya adalah gaya bahasa yang menjelaskan makna-makna dengan penalaran inderawi. Keagungan yang tampak dimaksudkan untuk menciptakan daya tarik yang kuat. Sedangkan pemilihan muqsam bih dilakukan dengan memperhatikan sifat yang sesuai dengan keadaan. Menelusuri sumpah-sumpah al-Qur’an seperti yang terdapat dalam ayat al-Duha, kita menemukanya dikemukakan sebagai lafitah (penarikan perhatian) terhadap suatu gambaran materi yang dapat diindera, dan realitas yang dapat dilihat, sebagai inisiatif ilustratif bagi gambaran lain yang maknawi dan sejenis, tidak dapat dilihat dan diindera.
Dengan demikian, al-Qur’an dengan sumpah-sumpahnya dalam surat al-Duha menjelaskan makna-makna petunjuk dan kebenaran, atau kesesatan dan kebatilan, dengan materi-materi cahaya dan kegelapan. Penjelasan yang maknawi degan yang hissi ini dapat kita kemukakan pada sumpah-sumpah al-Qur’an dengan wawu. Yang demikian dapat diterima tanpa paksaan dalam pentakwilan ayat-ayat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khuli, Amin. Kamil sa’fan, Kairo:al-Haiah al-Misriyah al-Amamah lil Kitab,1982.
Amn, Muhammad, A Study of Bint al-Shati Exegesis, Kanada, Tesis McGill, 1992.
Golzier, Ignaz. Mazhab Tafsir, dari Aliran Klasik hingga Modern, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003.
Boullata, Issa J.. Pengantar Tafsir Binti al-Syathi’, terj. Ihsan Ali Fauzi, Bandung: Mizanj, 1996.
Mansur, Muhammad. “Amin al-Khuli dan Pergeseran Paradigma Tafsir al-Qur’an”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 6, No. 2, Juli, Yogyakarta: UIN Suka, 2005.
Nahdiyyin, Khairon. Pengantar Penerjemah “Metode Tafsir Sastra”, Amin al-Khuli dan Nasr Hamid Abu Zaid, Yogyakarta: Adab Press, 2004.
Jurnal al-Hikmah, (no.3, oktober 1991), hal 6. Tesis MA-nya sendiri berjudul, al-Hayah al-Insaniyah ind Abu al-A'la, diterbitkan Dar al-Ma'arif, Kaero, 1942.
Shaleh, Achmad Chudlari. “Bint al-Syathi: Tafsir tematik”, Pemikiran Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Jendela, 2003.
Syathi’, Binti. Manusia, Sensitifitas Hermeneutika al-Qur’an, (Yogyakarta: LKPSM, 1997.
----------------. Tafsir Bintu al-Syathi’, (Bandung: Mizan,
Ignaz Golzier. Mazhab Tafsir, dari Aliran Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003), hal. 286.
Amin al-khuli. Kamil sa’fan, (kairo:al-Haiah al-Misriyah al-Amamah lil Kitab,1982)
Amin al-khuli. Kamil…hal. 7-8.
Amin al-khuli. Kamil…hal. 13.
Muhammad Amn, A Study of Bint al-Shati Exegesis, (Kanada, Tesis McGill, 1992,) hal 6.
Muhammad Amn, A Study…hal. 7.
Secara lebih luas, Ibid, 8-12. lihat pula, Issa j. Boullata, Tafsir al-Qur'an Modern Studi Atas metode bint al-Shati, dalam jurnal al-Hikmah, (no.3, oktober 1991), hal 6. Tesis MA-nya sendiri berjudul, al-Hayah al-Insaniyah ind Abu al-A'la, diterbitkan Dar al-Ma'arif, Kaero, 1942.
Ibid, hal 16-17.
M. Mansur. “Amin al-Khuli dan Pergeseran Paradigma Tafsir al-Qur’an”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, Vol. 6, No. 2, Juli (Yogyakarta: UIN Suka, 2005), hal. 212.
Khairon Nahdiyyin. Pengantar Penerjemah “Metode Tafsir Sastra”, Amin al-Khuli dan Nasr Hamid Abu Zaid, (Yogyakarta: Adab Press, 2004), hal. Vi.
M. Mansur. “Amin … hal. 219.
M. Mansur. “Amin … hal. 220.
M. Mansur. “Amin … hal. 222.
Binti Syathi’. Manusia, Sensitifitas Hermeneutika al-Qur’an, (Yogyakarta: LKPSM, 1997), hal. 1-3.
Achmad Chudlari Shaleh. “Bint al-Syathi: Tafsir tematik”, Pemikiran Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hal. 112-113.
Issa J. Boullata. Pengantar Tafsir Binti al-Syathi’, terj. Ihsan Ali Fauzi, (Bandung: Mizanj, 1996), hal. 12-13.
Issa J. Boullata. Pengantar … hal. 22-23.
Achmad Chudlari Shaleh. “Bint al-Syathi … hal. 120.
Dr. Aisyah Abdurrahman. Tafsir Bintu al-Syathi’, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 49.
Dr. Aisyah Abdurrahman. Tafsir … hal. 51-52.